Dalam lipatan sejarah kemanusiaan, terukir kisah-kisah agung yang sarat dengan pelajaran dan hikmah. Kisah para nabi dan rasul adalah mercusuar yang cahayanya menembus zaman, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang berpikir. Salah satu kisah yang paling menggugah dan penuh peringatan adalah kisah tentang seorang hamba Allah yang mulia, yang diutus kepada kaumnya yang terampil namun sombong. Kisah ini adalah tentang kebenaran yang ditentang, mukjizat yang didustakan, dan azab yang menjadi keniscayaan. Ini adalah kisah Nabi Saleh Alaihissalam, seorang rasul yang membawa risalah tauhid kepada Kaum Tsamud. Pada hakikatnya, inti dari seluruh narasi ini adalah sebuah penegasan fundamental bahwa Nabi Saleh adalah utusan Allah SWT yang sejati.
Peradaban Kaum Tsamud: Kemegahan di Lembah Bebatuan
Untuk memahami sepenuhnya urgensi dan signifikansi diutusnya Nabi Saleh, kita harus terlebih dahulu menyelami kehidupan kaum yang menjadi tujuan dakwahnya: Kaum Tsamud. Mereka bukanlah kaum primitif yang hidup dalam keterbelakangan. Sebaliknya, Tsamud adalah sebuah peradaban maju yang menetap di wilayah Al-Hijr, sebuah dataran yang terletak di antara Hijaz dan Syam. Mereka adalah penerus Kaum 'Ad yang juga telah dibinasakan Allah karena kesombongan mereka.
Allah SWT menganugerahkan kepada Kaum Tsamud karunia yang luar biasa. Mereka memiliki kekuatan fisik yang prima dan keahlian arsitektur yang tiada tanding. Keistimewaan terbesar mereka adalah kemampuan untuk memahat gunung-gunung batu yang kokoh menjadi istana-istana megah, rumah-rumah yang aman, dan benteng-benteng yang tak tertembus. Di musim panas, mereka tinggal di rumah-rumah yang mereka bangun di dataran rendah, dan di musim dingin, mereka berlindung di dalam pahatan-pahatan gunung yang hangat dan kokoh. Kehidupan mereka dipenuhi dengan kemewahan, taman-taman yang subur, mata air yang melimpah, dan perkebunan kurma yang menghasilkan buah-buahan terbaik.
Namun, kemakmuran material ini tidak diimbangi dengan kemakmuran spiritual. Seiring berjalannya waktu, kemewahan tersebut justru melahirkan sifat-sifat tercela. Mereka menjadi sombong, angkuh, dan merasa bahwa semua pencapaian itu adalah murni hasil kerja keras dan kecerdasan mereka sendiri. Mereka melupakan Sang Pemberi Nikmat, Allah SWT. Keyakinan tauhid yang diwariskan dari leluhur mereka terkikis dan digantikan oleh penyembahan berhala. Mereka membuat patung-patung dari batu, lalu menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya, dan mempersembahkan kurban untuknya. Ironisnya, mereka menyembah benda-benda yang tangannya sendiri yang membuatnya.
Kesenjangan sosial juga merajalela. Para pemimpin dan kaum elit hidup dalam gelimang harta, menindas kaum yang lemah dan miskin. Kezaliman menjadi pemandangan sehari-hari, dan keadilan menjadi barang langka. Dalam kondisi kegelapan spiritual dan moral inilah, Allah dengan rahmat-Nya, tidak membiarkan mereka tersesat selamanya. Dia memilih seorang laki-laki dari kalangan mereka sendiri, yang terkenal dengan kejujuran dan kebijaksanaannya, untuk menjadi pembawa cahaya petunjuk. Laki-laki itu adalah Saleh bin Ubaid bin Masih bin Ubaid bin Hadir bin Tsamud.
Awal Mula Dakwah: Seruan Lembut di Tengah Kesombongan
Nabi Saleh tumbuh di tengah-tengah kaumnya sebagai pribadi yang luhur. Ia dikenal karena kecerdasannya, kejujurannya, sifatnya yang amanah, dan tutur katanya yang santun. Sebelum diangkat menjadi nabi, ia adalah sosok yang dihormati dan sering dimintai pendapat oleh kaumnya. Mereka menaruh harapan besar padanya untuk menjadi salah satu pemimpin mereka di masa depan. Namun, Allah memiliki rencana yang lebih agung untuknya.
Ketika wahyu turun kepadanya, Nabi Saleh memulai misinya yang suci. Ia tidak datang dengan hardikan atau paksaan. Ia memulai dakwahnya dengan penuh kelembutan dan argumen yang logis, menyentuh hati nurani kaumnya. Ia berdiri di hadapan mereka dan berkata:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Seruan Nabi Saleh berpusat pada tiga pilar utama. Pertama, pengakuan akan keesaan Allah (tauhid) dan meninggalkan penyembahan berhala yang tidak memberi manfaat maupun mudarat. Kedua, pengingat akan asal-usul mereka, bahwa mereka diciptakan dari tanah dan diberi amanah untuk memakmurkan bumi, bukan untuk merusaknya dengan kesyirikan dan kezaliman. Ketiga, ajakan untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan—kekuatan, kekayaan, dan keamanan—dengan cara beribadah hanya kepada-Nya.
Reaksi kaumnya terbelah. Segelintir orang dari kalangan lemah dan tertindas, yang hatinya masih bersih, menerima seruan itu dengan tulus. Mereka melihat kebenaran dalam kata-kata Saleh dan merasakan kedamaian dalam ajaran tauhid. Namun, mayoritas dari mereka, terutama para pemuka dan orang-orang kaya, menolaknya dengan keras. Mereka merasa terhina karena harus meninggalkan tuhan-tuhan warisan nenek moyang mereka. Kedudukan dan status quo mereka terasa terancam oleh ajaran persamaan derajat di hadapan Tuhan yang dibawa oleh Saleh. Mereka berkata dengan angkuh, "Wahai Saleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan. Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami."
Mereka mencoba berbagai cara untuk menghentikan dakwahnya. Mereka melontarkan tuduhan, cemoohan, dan hinaan. Mereka menuduhnya sebagai orang yang terkena sihir, gila, atau bahkan seorang pendusta yang hanya ingin mencari kekuasaan. Namun, semua itu tidak sedikit pun menggoyahkan keteguhan hati sang nabi. Ia terus mengingatkan mereka, "Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku hanyalah seorang penasihat yang terpercaya bagimu." Di setiap kesempatan, ia menekankan bahwa Nabi Saleh adalah utusan Allah yang membawa kebenaran, bukan rekayasa dari dirinya sendiri.
Tantangan Mukjizat: Unta Betina yang Keluar dari Batu
Setelah melihat dakwah Nabi Saleh mulai menarik simpati sebagian kecil masyarakat, para pemuka Kaum Tsamud merasa semakin terdesak. Mereka tahu bahwa argumen logis tidak akan mampu membendung kebenaran yang disampaikannya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menempuh jalan lain: menantangnya untuk mendatangkan sebuah mukjizat yang menurut akal mereka mustahil terwujud. Mereka ingin mempermalukannya di depan para pengikutnya dan membuktikan bahwa ia hanyalah seorang pendusta.
Pada suatu hari, ketika kaumnya sedang berkumpul di sebuah tempat pertemuan, mereka mendatangi Nabi Saleh dengan sombong. Salah seorang dari mereka, seorang pemimpin bernama Junda' bin Amru, berkata dengan nada menantang, "Wahai Saleh, jika engkau memang benar seorang utusan Tuhan seperti yang kau katakan, maka tunjukkanlah kepada kami sebuah bukti yang nyata. Mintalah kepada Tuhanmu agar mengeluarkan untuk kami dari batu besar yang kokoh itu,"—sambil menunjuk sebuah batu besar di sisi gunung—"seekor unta betina yang sangat besar, sedang hamil sepuluh bulan, dan memiliki ciri-ciri tertentu yang kami inginkan."
Mereka sengaja meminta sesuatu yang berada di luar nalar manusia. Bagaimana mungkin benda mati yang padat dan keras seperti batu bisa mengeluarkan makhluk hidup yang bernyawa, lengkap dengan kriteria yang sangat spesifik? Tantangan ini mereka anggap sebagai skakmat. Jika Saleh gagal, maka habislah riwayat dakwahnya. Jika ia berhasil, yang mana menurut mereka mustahil, maka mereka berjanji akan beriman kepadanya.
Nabi Saleh menerima tantangan tersebut. Ia terlebih dahulu mengambil janji dari mereka. "Apakah kalian benar-benar akan beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa jika Allah mengabulkan permintaan kalian?" Mereka serentak menjawab, "Ya, kami berjanji akan beriman."
Dengan penuh keyakinan dan tawakal, Nabi Saleh kemudian menyingkir ke tempat salatnya. Ia mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT, memohon agar Dia menunjukkan tanda kebesaran-Nya kepada kaum yang sombong itu. Ia memohon agar Allah mengabulkan permintaan mereka, bukan untuk dirinya, tetapi agar kebenaran risalah-Nya menjadi nyata di hadapan mata mereka.
Seketika, terjadilah peristiwa yang mengguncangkan akal. Batu besar yang mereka tunjuk itu mulai bergetar hebat. Terdengar suara gemuruh dari dalamnya, seolah-olah akan terbelah. Di hadapan mata seluruh Kaum Tsamud yang berkumpul, batu itu benar-benar terbelah. Dan dari celah batu yang menganga itu, keluarlah seekor unta betina yang sangat besar dan megah, persis seperti yang mereka gambarkan dalam permintaan mereka. Unta itu sedang bunting tua, dan tak lama setelah keluar, ia melahirkan seekor anaknya.
Pemandangan itu sungguh luar biasa. Seluruh kaum yang hadir terdiam, terpaku, dan diliputi ketakjuban yang bercampur rasa takut. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri sebuah kemustahilan yang menjadi kenyataan. Junda' bin Amru, sang penantang utama, dan beberapa orang di sekitarnya langsung menyatakan keimanan mereka saat itu juga. Namun, sebagian besar para pemuka lainnya, yang hatinya telah dibutakan oleh kesombongan dan kedengkian, justru semakin menjadi-jadi dalam kekafirannya. Mereka berkata, "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata!" Mereka menolak kebenaran yang jelas-jelas terpampang di hadapan mereka, dan menuduh Nabi Saleh sebagai seorang penyihir ulung.
Naqatullah: Ujian Kesabaran dan Ketaatan
Unta betina itu bukan sekadar unta biasa. Ia adalah Naqatullah, unta betina milik Allah. Kehadirannya adalah sebuah tanda kebesaran Allah sekaligus menjadi ujian berat bagi Kaum Tsamud. Nabi Saleh kemudian menyampaikan aturan yang Allah tetapkan terkait unta tersebut:
"Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang nyata) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa azab yang dekat."
Aturan pertama adalah membiarkannya bebas merumput di mana saja ia suka di bumi Allah. Tidak boleh ada yang menghalangi atau mengganggunya. Aturan kedua, yang menjadi ujian utama, adalah mengenai pembagian sumber air. Nabi Saleh menjelaskan bahwa ada satu sumber air utama di negeri mereka, dan penggunaannya harus digilir. Satu hari untuk unta betina itu minum sepuasnya, dan hari berikutnya untuk seluruh penduduk beserta ternak mereka. Pada hari giliran unta itu minum, ia akan meminum air dalam jumlah yang sangat banyak, seolah menghabiskan isi mata air. Namun, sebagai gantinya, pada hari itu juga unta tersebut menghasilkan air susu yang luar biasa melimpah. Susu tersebut cukup untuk diminum oleh seluruh penduduk negeri, dari yang kaya hingga yang miskin. Mereka bisa mengisi bejana dan wadah mereka hingga penuh.
Pada awalnya, sistem ini berjalan. Kaum yang beriman dengan taat mengikuti aturan tersebut. Bahkan kaum yang kafir pun turut menikmati manfaat dari susu unta yang melimpah. Kehadiran unta mukjizat ini menjadi berkah yang nyata. Namun, bagi para pembesar yang hatinya penuh kedengkian, keberadaan unta itu menjadi duri dalam daging. Mereka merasa risih dan terganggu. Mereka tidak suka melihat unta itu berkeliaran dengan bebas di kebun dan ladang mereka. Mereka juga benci dengan sistem pembagian air, yang mereka anggap sebagai bentuk ketundukan pada aturan Saleh. Setiap kali mereka melihat unta itu, mereka teringat akan kekalahan mereka dalam tantangan mukjizat, dan hal itu membakar api kesombongan dalam dada mereka.
Mereka mulai menyebar fitnah dan hasutan. "Lihatlah unta besar itu! Ia menghabiskan air kita dan merusak tanaman kita. Sampai kapan kita akan tunduk pada sihir Saleh ini?" bisik mereka satu sama lain. Mereka mencoba memprovokasi penduduk agar membenci unta tersebut. Mereka lupa bahwa unta itu adalah bukti nyata kekuasaan Allah, dan mengganggunya berarti menantang langsung Sang Pencipta. Penegasan bahwa Nabi Saleh adalah utusan yang membawa aturan dari Allah, mereka abaikan sepenuhnya. Mereka lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsu dan kesombongan mereka.
Konspirasi Jahat dan Puncak Kedurhakaan
Kebencian para pemuka Kaum Tsamud terhadap unta Allah mencapai puncaknya. Mereka tidak tahan lagi melihat simbol kebenaran dakwah Nabi Saleh itu berkeliaran dengan tenang di tengah-tengah mereka. Akhirnya, mereka bersepakat dalam sebuah konspirasi jahat untuk membunuh unta tersebut. Mereka tahu ini adalah pelanggaran berat terhadap peringatan Nabi Saleh, tetapi kesombongan telah membutakan mata hati mereka dari konsekuensi yang akan datang.
Rencana jahat ini dimotori oleh sembilan orang laki-laki yang merupakan pemimpin kelompok perusak di kota itu. Mereka adalah orang-orang yang gemar berbuat kerusakan dan tidak pernah melakukan kebaikan. Tokoh utama di balik pembunuhan ini adalah seorang laki-laki yang paling celaka di antara mereka, namanya Qudar bin Salif. Ia adalah seorang pria bengis, berwatak keras, dan sangat membenci Nabi Saleh.
Konspirasi ini juga didukung oleh dua orang wanita kaya dan berpengaruh di kalangan mereka. Wanita pertama bernama Saduf binti Mahya, seorang wanita terpandang yang menawarkan dirinya kepada siapa saja yang berhasil membunuh unta itu. Wanita kedua bernama 'Unaizah binti Ghunaim, seorang nenek tua kaya raya yang menawarkan putri-putrinya yang cantik sebagai hadiah bagi sang eksekutor. Tawaran duniawi yang menggiurkan ini semakin memantapkan niat jahat Qudar bin Salif dan komplotannya.
Qudar bin Salif, setelah mendapat dukungan penuh, mulai mencari rekan untuk melaksanakan rencananya. Ia berhasil mengajak delapan orang lainnya untuk bergabung. Mereka mempersiapkan senjata, mengintai jalur yang biasa dilewati oleh unta tersebut, dan menunggu saat yang tepat. Mereka bersembunyi di balik sebuah batu besar, menanti unta itu datang untuk minum dari sumber air.
Ketika unta betina itu muncul dan berjalan menuju mata air, salah seorang dari mereka, Mushadda' bin Mihraj, memanahnya terlebih dahulu, mengenai bagian kakinya. Unta itu mencoba melarikan diri, tetapi Qudar bin Salif dengan cepat mengejarnya. Dengan sebilah pedang yang tajam, ia menebas urat keting (urat besar di belakang mata kaki) unta tersebut. Seketika, unta raksasa itu jatuh tersungkur ke tanah, tidak bisa lagi berdiri. Dengan kebiadaban yang luar biasa, Qudar kemudian menikam leher unta itu dengan tombak, mengakhiri hidup makhluk suci tersebut.
Anak unta yang selalu mengikutinya, melihat induknya dibantai, lari ketakutan ke puncak gunung dan mengeluarkan suara rintihan sebanyak tiga kali sebagai pertanda akan datangnya azab. Para pembunuh itu, dengan bangga dan tanpa penyesalan, membagi-bagikan daging unta itu kepada seluruh penduduk yang setuju dengan perbuatan mereka. Mereka berpesta pora merayakan "kemenangan" mereka atas aturan yang dibawa oleh Nabi Saleh.
Kemudian, dengan penuh keangkuhan, mereka mendatangi Nabi Saleh dan berkata, "Wahai Saleh, kami telah membunuh unta itu! Sekarang datangkanlah azab yang engkau ancamkan kepada kami, jika engkau memang termasuk orang-orang yang benar!" Perbuatan mereka membunuh unta itu bukan hanya tindakan kekejaman terhadap hewan, tetapi merupakan simbol penolakan total terhadap Allah, pembangkangan terhadap perintah-Nya, dan pendustaan terang-terangan terhadap kenabian utusan-Nya.
Ultimatum Tiga Hari dan Azab yang Mengerikan
Melihat kedurhakaan kaumnya yang telah melampaui batas, hati Nabi Saleh dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia tahu bahwa pintu ampunan telah tertutup bagi mereka. Dengan wajah yang pilu, ia menyampaikan ultimatum terakhir dari Allah SWT:
"Nikmatilah kesenangan di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan."
Inilah tenggat waktu yang Allah berikan sebelum azab yang membinasakan itu turun. Tiga hari bagi mereka untuk menikmati sisa hidup mereka yang singkat. Tanda-tanda datangnya azab mulai terlihat secara bertahap selama tiga hari tersebut. Para perawi tafsir menyebutkan bahwa pada hari pertama setelah ultimatum itu, wajah seluruh Kaum Tsamud yang kafir berubah menjadi kuning pucat. Mereka saling memandang dengan ketakutan, namun kesombongan masih menghalangi mereka untuk bertaubat. Pada hari kedua, wajah mereka berubah menjadi merah padam, seolah terbakar oleh amarah dan ketakutan yang memuncak. Dan pada hari ketiga, wajah mereka berubah menjadi hitam kelam, legam seperti arang, menandakan bahwa akhir riwayat mereka sudah di ambang pintu.
Meskipun tanda-tanda itu begitu jelas, komplotan sembilan perusak itu tidak juga sadar. Bahkan di malam terakhir sebelum azab tiba, mereka merencanakan kejahatan yang lebih besar lagi. Mereka berbisik-bisik, "Marilah kita bersumpah dengan nama Allah, bahwa kita pasti akan menyerang Saleh dan keluarganya secara tiba-tiba di malam hari, kemudian kita katakan kepada ahli warisnya bahwa kita tidak menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar."
Mereka berencana untuk membunuh Nabi Saleh dan keluarganya, lalu berbohong kepada kerabatnya. Namun, Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana. Sebelum mereka sempat melaksanakan niat busuk mereka, Allah menghancurkan mereka terlebih dahulu. Allah timpakan batu-batu dari langit yang membinasakan kesembilan orang itu, sebagai pembalasan atas rencana jahat mereka. Sementara itu, Allah memerintahkan Nabi Saleh beserta seluruh pengikutnya yang beriman untuk segera meninggalkan negeri itu, menuju tempat yang aman.
Pada pagi hari keempat, saat matahari mulai terbit, datanglah azab yang dijanjikan. Langit bergemuruh dengan suara yang begitu dahsyat dan memekakkan telinga (ash-shaihah), yang datang dari atas mereka. Suara itu begitu keras hingga merobek jantung mereka dan mematikan mereka seketika. Bersamaan dengan itu, bumi berguncang dengan guncangan yang sangat kuat (ar-rajfah). Dalam sekejap, seluruh penduduk Kaum Tsamud yang kafir itu tewas di dalam rumah-rumah mereka yang megah. Mereka mati bergelimpangan, jasad-jasad mereka kaku dan tak bernyawa. Kemegahan istana-istana pahatan batu mereka tidak mampu melindungi mereka sedikit pun dari murka Allah.
Negeri Al-Hijr yang tadinya ramai dengan kehidupan yang makmur, kini menjadi kota mati yang senyap. Seolah-olah mereka tidak pernah ada dan tidak pernah tinggal di sana. Allah membinasakan mereka hingga ke akar-akarnya, sebagai pelajaran bagi generasi-generasi sesudahnya.
Pelajaran Abadi dari Kehancuran Kaum Tsamud
Setelah azab menimpa kaumnya, Nabi Saleh berpaling dari mereka sambil berkata dengan penuh kesedihan, "Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat." Kisah Nabi Saleh dan Kaum Tsamud bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah cerminan abadi tentang tabiat manusia dan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang dibuat. Ada banyak sekali pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari narasi agung ini.
1. Bahaya Kesombongan dan Kufur Nikmat
Kaum Tsamud adalah contoh nyata bagaimana kemakmuran materi dan kehebatan teknologi dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesombongan. Mereka merasa kuat, hebat, dan mandiri, sehingga mereka lupa bahwa semua itu adalah karunia dari Allah. Sikap ini menuntun mereka pada kekufuran, yaitu mengingkari nikmat Allah dan menyembah selain-Nya. Pelajarannya sangat jelas: rasa syukur adalah benteng yang melindungi hati dari penyakit sombong. Sekecil apa pun nikmat yang kita terima, ia berasal dari Allah dan patut disyukuri dengan lisan, hati, dan perbuatan.
2. Kepastian Janji Allah
Kisah ini menegaskan bahwa janji Allah, baik itu janji pahala maupun janji azab, adalah sebuah kepastian yang tidak akan pernah diingkari. Allah memberikan kesempatan, mengutus rasul, menunjukkan mukjizat, dan memberi tenggat waktu. Namun, ketika batas kesabaran-Nya terlampaui, azab-Nya pasti akan datang. Ultimatum tiga hari kepada Kaum Tsamud adalah bukti nyata dari ketetapan ini. Ini menjadi pengingat bagi kita untuk tidak pernah meremehkan peringatan-peringatan Allah yang terkandung dalam kitab suci-Nya.
3. Mukjizat sebagai Ujian, Bukan Hiburan
Mukjizat unta betina bukanlah pertunjukan sulap untuk menghibur massa. Ia adalah ujian iman yang sangat berat. Bagi hati yang bersih, mukjizat itu menjadi penegas keimanan. Namun, bagi hati yang penuh kedengkian dan kesombongan, mukjizat itu justru menjadi pemicu kedurhakaan yang lebih besar. Mereka melihat kebenaran dengan mata kepala mereka, tetapi memilih untuk mendustakannya. Ini mengajarkan kita bahwa hidayah adalah karunia Allah yang harus dijemput dengan hati yang tulus, bukan dengan menantang kekuasaan-Nya.
4. Konsekuensi Merusak Tanda-tanda Kebesaran Allah
Unta betina itu adalah sya'airillah, salah satu tanda kebesaran Allah di muka bumi. Membunuhnya adalah sebuah tindakan pembangkangan simbolik terhadap Sang Pencipta. Dalam konteks yang lebih luas, ini mengajarkan kita untuk menghormati segala sesuatu yang menjadi simbol keagungan Allah, baik itu tempat-tempat suci, perintah-perintah-Nya, maupun makhluk-makhluk-Nya yang menjadi tanda kekuasaan-Nya. Merusak atau melecehkannya akan mendatangkan konsekuensi yang sangat berat.
5. Kesabaran dan Keteguhan Para Da'i
Nabi Saleh adalah teladan kesabaran yang luar biasa. Ia menghadapi cemoohan, tuduhan, penolakan, dan ancaman pembunuhan dari kaumnya sendiri. Namun, ia tidak pernah menyerah. Ia terus menyampaikan risalah dengan lemah lembut, argumen yang kuat, dan akhlak yang mulia. Ia menunjukkan bahwa tugas seorang pembawa kebenaran adalah menyampaikan, bukan memaksa. Hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Kisahnya memberikan inspirasi bagi siapa pun yang berjuang di jalan dakwah untuk tetap teguh dan sabar menghadapi segala rintangan.
Sebagai penutup, kisah ini kembali pada inti pesannya: bahwa Nabi Saleh adalah utusan Allah yang sejati, yang diutus untuk menyelamatkan kaumnya dari kehancuran. Namun, mereka memilih jalan kebinasaan dengan tangan mereka sendiri. Reruntuhan kota Al-Hijr, yang kini dikenal sebagai Mada'in Saleh, masih berdiri sebagai saksi bisu atas kebenaran kisah ini—sebuah monumen peringatan yang tak lekang oleh waktu, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.