Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu kesayangan Nabi Muhammad SAW, merupakan sosok sentral dalam sejarah awal Islam. Panggilan dan kedudukannya tidak hanya bersifat kekeluargaan, tetapi juga memiliki dimensi spiritual, intelektual, dan kepemimpinan yang mendalam. Memahami "panggilan" Ali berarti menyelami peranannya sebagai pilar utama yang menopang risalah kenabian pasca wafatnya Rasulullah.
Panggilan pertama yang melekat pada diri Ali adalah pengakuan keislamannya yang paling awal. Ia adalah salah satu dari sedikit orang, dan yang paling muda, yang menerima Islam langsung dari Nabi Muhammad SAW di masa-masa awal dakwah yang masih bersifat rahasia. Panggilan ini menandai keberanian luar biasa, karena menerima Islam saat itu berarti menempatkan diri dalam bahaya besar dari kaum Quraisy yang menentang keras ajaran tauhid. Ali menjawab panggilan kenabian ini tanpa keraguan, menjadikannya simbol loyalitas absolut.
Hubungan darahnya dengan Nabi, sebagai putra pamannya, diperkuat melalui pernikahan suci dengan Fatimah az-Zahra. Ikatan pernikahan ini bukan sekadar urusan personal, melainkan penegasan atas legitimasi dan kesinambungan garis suci keluarga Nabi. Ali dipanggil untuk menjadi penyempurna struktur keluarga inti risalah Islam.
Salah satu aspek paling terkenal dari panggilan Ali adalah statusnya sebagai 'Gerbang Ilmu' (Bab al-Ilm). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya." Panggilan ini menunjukkan bahwa kedalaman pemahaman Ali terhadap Al-Qur'an dan Sunnah melebihi banyak sahabat lainnya. Ia memiliki kapasitas luar biasa dalam penalaran hukum, interpretasi ayat, dan pemahaman hikmah di balik syariat.
Panggilan intelektual ini terlihat jelas dalam khutbah-khutbahnya yang termaktub dalam kitab Nahj al-Balaghah (Jalan Kebijaksanaan). Dalam risalah ini, tampak jelas panggilan filosofis, etika sosial, dan wawasan teologis yang mendalam. Ali tidak hanya seorang prajurit pemberani, tetapi juga seorang filsuf dan orator ulung yang meneruskan warisan pemikiran Islam.
Ketika umat Islam menghadapi turbulensi politik setelah wafatnya Nabi, panggilan kepemimpinan semakin menguat pada diri Ali. Meskipun ia memiliki hak historis berdasarkan penunjukan Nabi dalam berbagai peristiwa (seperti di Ghadir Khum), kepemimpinan formalnya (sebagai Khalifah keempat) datang pada periode penuh konflik internal. Panggilan ini menuntutnya untuk memimpin sebuah komunitas yang tengah terpecah.
Fokus utama dalam kepemimpinan Ali adalah penegakan keadilan murni. Ia dipanggil untuk mengembalikan kemurnian nilai-nilai Islam yang mungkin sedikit ternoda oleh kepentingan duniawi yang mulai merasuk. Surat-suratnya kepada para gubernur, terutama kepada Malik al-Ashtar, merupakan manual klasik tentang bagaimana seorang pemimpin harus berlaku adil, tidak membedakan status sosial, dan melayani rakyatnya dengan kerendahan hati. Keadilan ini adalah manifestasi tertinggi dari panggilan moralnya.
Hingga kini, warisan panggilan Ali bin Abi Thalib terus bergema. Bagi kaum Muslimin secara umum, ia adalah teladan keberanian, kedermawanan, dan ilmu. Bagi mazhab Syiah, panggilan Ali adalah dasar legitimasi kepemimpinan spiritual dan politik pasca-Nabi, menjadikannya Imam pertama yang tak tergantikan.
Inti dari panggilan Ali adalah integritas yang tak terpisahkan antara kata-kata dan perbuatannya. Ia hidup sesuai dengan apa yang ia ajarkan. Keteguhan hatinya dalam membela kebenaran, meskipun harus menghadapi kesulitan besar, menjadikannya mercusuar bagi generasi-generasi yang mencari keteladanan dalam menghadapi ujian dunia. Panggilan untuk mengikuti jejaknya adalah panggilan untuk memilih ilmu di atas kebodohan, keberanian di atas kepengecutan, dan keadilan di atas favoritisme.