Menggali Perintah Ilahi dalam Surat Kemenangan: An-Nasr

Gerbang Kemenangan An-Nasr Ilustrasi gerbang kemenangan dengan cahaya di tengahnya, melambangkan pertolongan Allah (Nasrullah) dan kemenangan (Al-Fath), serta garis-garis yang melambangkan manusia berbondong-bondong masuk Islam.

Ilustrasi gerbang kemenangan dan cahaya yang melambangkan pertolongan Allah.

Surat An-Nasr, sebuah surat pendek yang sarat makna, diturunkan di Madinah dan menjadi salah satu surat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Meski hanya terdiri dari tiga ayat, surat ini merangkum sebuah perjalanan panjang perjuangan, kesabaran, dan puncak dari janji ilahi. Ia bukan sekadar kabar gembira tentang kemenangan, tetapi sebuah pedoman fundamental bagi seorang mukmin dalam menyikapi puncak kesuksesan. Di dalamnya terkandung perintah-perintah agung yang menjadi kunci untuk menjaga kemurnian hati dan memastikan bahwa pencapaian terbesar dalam hidup justru menjadi jembatan untuk semakin mendekat kepada Sang Pencipta.

Surat ini sering disebut sebagai "Surat At-Tawdi'" atau Surat Perpisahan, karena banyak sahabat menafsirkannya sebagai isyarat dekatnya akhir tugas kenabian Rasulullah ﷺ. Ketika misi telah sempurna, ketika tujuan utama telah tercapai, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba? Jawabannya terukir abadi dalam tiga perintah inti di surat ini. Ia mengajarkan etika kesuksesan yang sesungguhnya, sebuah formula spiritual yang relevan sepanjang masa, baik bagi individu maupun komunitas.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ

وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا

Terjemahannya adalah: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Dari terjemahan ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ayat pertama dan kedua adalah syarat atau konteks, sementara ayat ketiga adalah jawaban atau perintah yang harus dilaksanakan ketika syarat itu terpenuhi.

Konteks Agung: Pertolongan dan Kemenangan (Ayat 1-2)

Sebelum menyelami inti perintah dalam Surat An-Nasr, kita harus terlebih dahulu memahami panggung megah di mana perintah-perintah ini diberikan. Allah memulai surat ini bukan dengan perintah, melainkan dengan sebuah gambaran peristiwa monumental. Ini adalah fondasi yang membuat perintah di ayat ketiga menjadi sangat logis dan penuh hikmah.

Makna "Nasrullah" dan "Al-Fath"

Ayat pertama menyebutkan dua kata kunci: "Nasrullah" (Pertolongan Allah) dan "Al-Fath" (Kemenangan). Keduanya saling berkaitan namun memiliki penekanan yang berbeda. "Nasrullah" adalah pertolongan yang bersifat ilahiah, sebuah intervensi langsung dari Allah yang melampaui kalkulasi manusia. Ini adalah pengingat bahwa segala daya dan upaya, sehebat apa pun, tidak akan pernah membuahkan hasil tanpa campur tangan dan izin dari-Nya. Pertolongan ini bisa berupa kekuatan yang ditanamkan di hati kaum mukmin, ketakutan yang dilemparkan ke hati musuh, atau kondisi alam yang berpihak kepada kebenaran. Ini adalah penegasan absolut bahwa sumber segala kekuatan adalah Allah.

Sementara itu, "Al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Dalam konteks sejarah, para ulama sepakat bahwa ini merujuk secara spesifik pada peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Peristiwa ini bukan sekadar kemenangan militer biasa. Ia adalah puncak dari perjuangan selama lebih dari dua dekade. Fathu Makkah terjadi hampir tanpa pertumpahan darah. Nabi Muhammad ﷺ, yang dahulu diusir dari kota kelahirannya, kembali sebagai pemenang dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati. Beliau memberikan pengampunan massal kepada orang-orang yang dahulu memusuhi dan menyiksanya. Kemenangan ini adalah sebuah "pembukaan" hati, "pembukaan" pikiran, dan "pembukaan" gerbang hidayah bagi seluruh Jazirah Arab.

Fenomena Manusia Berbondong-bondong (Ayat 2)

Buah dari pertolongan Allah dan kemenangan yang penuh rahmat itu adalah apa yang digambarkan di ayat kedua: "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah." Sebelum Fathu Makkah, banyak suku-suku Arab yang bersikap menunggu. Mereka melihat pertarungan antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy di Mekkah sebagai pertarungan dua kekuatan besar. Namun, ketika Mekkah, pusat spiritual dan kekuatan Arab, takluk di bawah panji Islam dengan cara yang begitu damai dan agung, keraguan mereka sirna. Mereka menyadari bahwa ini bukanlah semata-mata kekuatan manusia, melainkan bukti kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Maka, delegasi dari berbagai kabilah datang silih berganti ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Fenomena ini dikenal sebagai "Tahun Delegasi". Mereka masuk Islam bukan karena paksaan pedang, melainkan karena takjub melihat akhlak, keadilan, dan rahmat yang ditunjukkan oleh Islam. Inilah bukti nyata bahwa kemenangan sejati bukanlah menaklukkan wilayah, melainkan merebut hati manusia untuk kembali kepada Tuhannya.

Konteks yang digambarkan dalam dua ayat pertama ini sangat penting. Ia menunjukkan sebuah kesuksesan yang paripurna, sebuah pencapaian puncak yang telah lama dinantikan. Justru di momen inilah, saat euforia dan kebanggaan bisa dengan mudah menyelinap ke dalam hati, Allah menurunkan panduan-Nya. Perintah yang datang bukanlah untuk berpesta pora atau membalas dendam, melainkan untuk kembali kepada esensi spiritual seorang hamba.

Perintah Inti: Respon Spiritual Atas Kemenangan (Ayat 3)

Setelah kondisi kemenangan ideal tercapai, Allah berfirman, "Fa sabbih bihamdi rabbika wastaghfirh." Kata "Fa" di awal ayat ini berfungsi sebagai konjungsi yang berarti "maka" atau "oleh karena itu". Ini menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan setelahnya adalah sebuah konsekuensi logis dan respons yang tepat atas nikmat yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada tiga perintah utama yang terangkum dalam satu frasa indah ini: Tasbih, Tahmid, dan Istighfar.

Perintah Pertama: Tasbih (فَسَبِّحْ - Maka Bertasbihlah)

Perintah pertama adalah Tasbih. Secara linguistik, tasbih berasal dari kata "sabaha" yang berarti berenang atau bergerak cepat. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat-sifat yang tidak layak, dan dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk-Nya. Ketika kita mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah), kita sedang mendeklarasikan kesempurnaan mutlak milik Allah.

Mengapa harus Tasbih di saat menang? Hikmahnya sangat mendalam. Kemenangan adalah momen yang sangat rawan bagi hati manusia untuk terjangkit penyakit sombong ('ujub) dan merasa bahwa keberhasilan itu adalah buah dari kehebatan diri sendiri, strategi yang jitu, atau kekuatan pasukan. Perintah untuk bertasbih seketika memotong potensi penyakit hati ini. Dengan bertasbih, seorang hamba seolah-olah berkata: "Ya Allah, kemenangan ini terjadi bukan karena kekuatanku, bukan karena strategiku, dan bukan karena kehebatanku. Kemenangan ini murni terjadi karena Engkau Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan Maha Suci dari segala ketidakmampuan. Aku hanya alat, Engkaulah Pelaku sesungguhnya."

Tasbih dalam konteks ini adalah sebuah proses internalisasi bahwa kemenangan adalah manifestasi dari sifat-sifat sempurna Allah, bukan cerminan dari kesempurnaan manusia. Manusia, dengan segala keterbatasannya, tidak mungkin bisa merancang kemenangan seagung Fathu Makkah. Ada terlalu banyak variabel, terlalu banyak ketidakpastian. Hanya kekuatan Yang Maha Sempurna yang bisa mengaturnya sedemikian rupa. Dengan bertasbih, kita mengembalikan segala pujian dan atribut kehebatan kepada Pemiliknya yang sejati, yaitu Allah SWT. Ini adalah langkah pertama untuk menjaga agar nikmat kesuksesan tidak berubah menjadi sumber kebinasaan akibat kesombongan.

Tasbih juga merupakan pengakuan bahwa metode meraih kemenangan itu pun harus suci, sejalan dengan kesucian Allah. Fathu Makkah diraih tanpa kezaliman, tanpa penjarahan, dan tanpa pertumpahan darah yang tidak perlu. Cara yang suci menghasilkan kemenangan yang suci, dan semua itu adalah cerminan dari kesucian Sang Pemberi Kemenangan.

Perintah Kedua: Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Dengan Memuji Tuhanmu)

Perintah kedua terikat langsung dengan yang pertama: Tahmid. Frasa "bihamdi rabbika" berarti "dengan memuji Tuhanmu". Jika Tasbih adalah penyucian (menafikan segala kekurangan), maka Tahmid adalah penetapan (mengafirmasi segala kesempurnaan dan kebaikan). Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama dalam memuliakan Allah.

Setelah kita menyucikan Allah dari andil kekurangan apa pun dalam kemenangan ini (Tasbih), kita kemudian secara aktif memuji-Nya atas segala karunia, rahmat, dan kebaikan-Nya yang sempurna yang telah dianugerahkan (Tahmid). Mengucapkan "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah) adalah wujud rasa syukur yang paling dasar. Dalam konteks An-Nasr, pujian ini memiliki dimensi yang luas:

Gabungan antara Tasbih dan Tahmid menciptakan sebuah keseimbangan spiritual yang sempurna. Dengan Tasbih, kita membersihkan hati dari kesombongan. Dengan Tahmid, kita mengisi hati dengan rasa syukur dan cinta kepada Allah. Ini adalah adab tertinggi seorang hamba ketika menerima anugerah. Ia tidak lalai, tidak lupa diri, melainkan segera mengembalikan segala kemuliaan kepada sumbernya. Kalimat "Subhanallahi wa bihamdih" (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya) yang sering kita ucapkan adalah rangkuman sempurna dari dua perintah pertama dalam surat ini.

Perintah Ketiga: Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ - Dan Mohonlah Ampunan kepada-Nya)

Perintah ketiga inilah yang seringkali menimbulkan pertanyaan besar: Istighfar. Mengapa Rasulullah ﷺ, seorang nabi yang maksum (terjaga dari dosa), diperintahkan untuk memohon ampunan, apalagi di puncak kesuksesan misinya?

Ini justru menunjukkan kedalaman makna dan hikmah yang luar biasa dari perintah ini. Perintah Istighfar di sini memiliki beberapa lapisan makna:

1. Puncak Kerendahan Hati dan Penghambaan ('Ubudiyyah)

Seorang hamba, setinggi apa pun kedudukannya dan sebesar apa pun pencapaiannya, akan selamanya tetap menjadi hamba. Dan sifat dasar seorang hamba di hadapan Tuhannya yang Maha Agung adalah merasa kurang dan penuh kekurangan. Perintah Istighfar ini adalah pelajaran tentang hakikat 'ubudiyyah. Seolah-olah Allah mengajarkan: "Wahai Muhammad, meskipun engkau telah berhasil menjalankan misi dengan sempurna, tetaplah sadari posisimu sebagai hamba-Ku. Dan salah satu bentuk penghambaan tertinggi adalah pengakuan atas kelemahan diri dan permohonan ampun kepada Tuhanmu." Ini adalah cara untuk memastikan bahwa pencapaian tidak membuat seseorang merasa setara atau cukup di hadapan Tuhannya.

2. Mengakui Kekurangan dalam Menunaikan Hak Allah

Meskipun Rasulullah ﷺ adalah manusia paling sempurna dalam ibadah dan syukurnya, hak Allah atas hamba-Nya jauh lebih besar dari apa pun yang bisa ditunaikan oleh makhluk. Syukur yang kita panjatkan atas sebuah nikmat, sesungguhnya membutuhkan syukur yang lain karena kita telah diberi kemampuan untuk bersyukur. Betapa pun kita berusaha, kita tidak akan pernah bisa mensyukuri nikmat Allah sebagaimana mestinya. Istighfar di sini adalah pengakuan atas ketidaksempurnaan kita dalam menunaikan hak-hak Allah, terutama hak untuk dipuji dan disyukuri secara sempurna atas nikmat kemenangan yang agung ini.

3. Penutup dari Segala Amal Kebaikan

Dalam ajaran Islam, Istighfar seringkali menjadi penutup dari amal-amal besar. Setelah shalat, kita dianjurkan beristighfar. Setelah menunaikan ibadah haji di Arafah, jamaah diperintahkan untuk beristighfar. Mengapa? Karena dalam setiap amal, pasti ada kekurangan dan kelalaian yang tidak kita sadari. Mungkin niat yang sedikit tercampur, mungkin kekhusyukan yang tidak sempurna, atau mungkin ada hak-hak lain yang terabaikan. Istighfar berfungsi sebagai "penambal" atas segala kekurangan tersebut, menyempurnakan amal kita agar diterima di sisi Allah. Demikian pula dengan tugas dakwah selama 23 tahun. Istighfar di akhir misi ini adalah permohonan agar Allah menutupi segala kekurangan yang mungkin terjadi selama perjalanan panjang tersebut.

4. Teladan bagi Umatnya

Perintah ini juga merupakan pelajaran abadi bagi seluruh umat Islam. Jika Rasulullah ﷺ, sang teladan utama, di puncak kemenangannya saja diperintahkan untuk merendahkan diri dengan beristighfar, maka bagaimana dengan kita? Kita yang penuh dengan dosa dan kelalaian, ketika mendapat secuil kesuksesan—baik itu dalam karier, pendidikan, atau keluarga—seringkali lupa diri dan sombong. Surat ini mengingatkan kita, jika panutan kita saja beristighfar saat menang, maka kita seharusnya jauh lebih banyak lagi beristighfar. Ini adalah tamparan keras bagi ego kita dan ajakan untuk senantiasa mawas diri.

Istighfar membersihkan residu-residu negatif yang mungkin timbul dari kesuksesan. Ia menetralkan potensi racun kebanggaan, memastikan bahwa hati tetap jernih, dan hubungan dengan Allah tetap terjaga dalam koridor penghambaan yang tulus.

Penutup Penuh Harapan: Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat

Surat ini ditutup dengan sebuah kalimat yang menenangkan dan penuh harapan: "Innahu kaana tawwaaba" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Kata "Tawwab" adalah bentuk superlatif yang berarti bukan hanya "Penerima Tobat", tetapi "Sangat Sering dan Selalu Menerima Tobat". Allah seakan-akan memberikan jaminan langsung: "Lakukanlah tiga hal itu—bertasbih, bertahmid, dan beristighfar—dan jangan ragu sedikit pun, karena Aku selalu siap menerima kembalinya kalian, selalu siap menerima tobat kalian."

Penutup ini adalah motivasi terbesar untuk melaksanakan ketiga perintah sebelumnya. Ia menghapus segala keraguan dan kekhawatiran. Ia memberitahu kita bahwa pintu ampunan dan rahmat Allah senantiasa terbuka lebar, terutama bagi hamba yang menyadari nikmat-Nya lalu meresponsnya dengan kerendahan hati. Sifat "At-Tawwab" menunjukkan cinta Allah kepada hamba-Nya yang kembali kepada-Nya. Allah tidak hanya menerima, tetapi Dia senang dengan tobat hamba-Nya.

Kesimpulannya, Surat An-Nasr memberikan kita sebuah peta jalan spiritual dalam menghadapi kesuksesan. Ia mengajarkan bahwa respons terbaik atas anugerah bukanlah perayaan yang melalaikan, melainkan peningkatan kualitas hubungan dengan Sang Pemberi Anugerah. Tiga perintah inti di dalamnya—Tasbih, Tahmid, dan Istighfar—adalah satu paket tak terpisahkan untuk menjaga kemurnian tauhid dan kerendahan hati.

Tasbih untuk menyucikan Allah dari segala sekutu dalam keberhasilan kita.
Tahmid untuk memuji-Nya sebagai satu-satunya sumber segala nikmat dan kebaikan.
Istighfar untuk mengakui kelemahan dan kekurangan diri kita di hadapan keagungan-Nya.

Ini adalah formula abadi untuk memastikan bahwa setiap puncak pencapaian dalam hidup kita tidak menjadi akhir dari perjalanan, melainkan menjadi awal dari pendakian spiritual yang lebih tinggi menuju keridhaan-Nya.

🏠 Homepage