Mengungkap Makna di Balik Surah Setelah An-Nasr

Dalam susunan mushaf Al-Qur'an, setiap surah memiliki posisi yang penuh hikmah dan keterkaitan makna dengan surah sebelum dan sesudahnya. Banyak umat Islam yang merenungkan urutan ini dan bertanya, setelah Surat An-Nasr adalah surat apa? Pertanyaan ini membawa kita pada sebuah surah pendek namun memiliki kandungan yang sangat kuat dan dramatis, yaitu Surat Al-Lahab. Jika Surat An-Nasr (Pertolongan) berbicara tentang kemenangan Islam dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam agama Allah, maka Surat Al-Lahab menyajikan potret kebinasaan bagi mereka yang menentang dakwah sejak awal dengan penuh kesombongan dan kebencian.

Surat Al-Lahab, yang juga dikenal dengan nama Al-Masad (Sabut), adalah surah ke-111 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat, surah ini tergolong Makkiyah, artinya diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Keunikan surah ini terletak pada penyebutan nama secara eksplisit salah seorang musuh Islam yang paling keras, yaitu Abu Lahab, paman Nabi sendiri. Ini adalah sebuah anomali dalam Al-Qur'an, di mana biasanya musuh-musuh kebenaran digambarkan melalui sifat mereka (misalnya, orang-orang kafir, munafik, musyrik) bukan dengan nama pribadi. Penyebutan ini menandakan betapa besar permusuhan dan kejahatan yang dilakukannya, sehingga namanya diabadikan sebagai simbol kebinasaan abadi bagi penentang risalah ilahi.

سورة اللهب

Surat Al-Lahab

Konteks Historis: Asbabun Nuzul Surat Al-Lahab

Untuk memahami kedalaman makna surah ini, kita harus menyelami peristiwa yang melatarbelakangi turunnya. Para ulama tafsir, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, menyepakati bahwa surah ini turun sebagai respons langsung terhadap penolakan publik pertama yang dilakukan oleh Abu Lahab. Peristiwa ini terjadi pada fase awal dakwah di Mekah, ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah dari Allah untuk menyeru kaumnya secara terang-terangan setelah berdakwah secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun. Perintah tersebut termaktub dalam Surat Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."

Menindaklanjuti perintah ini, Rasulullah ﷺ naik ke atas Bukit Safa, sebuah lokasi strategis di Mekah yang biasa digunakan untuk membuat pengumuman penting. Beliau berseru memanggil suku-suku Quraisy, "Wahai Bani Fihr, wahai Bani 'Adi," dan seterusnya hingga semua kabilah penting Quraisy berkumpul atau mengutus perwakilannya. Ketika semua telah hadir, termasuk pamannya, Abu Lahab, Rasulullah ﷺ mengajukan sebuah pertanyaan retoris yang cerdas untuk menguji kepercayaan mereka terhadapnya. Beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku kabarkan bahwa ada pasukan berkuda di lembah di balik bukit ini yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"

Mereka serentak menjawab, "Tentu saja kami percaya. Kami tidak pernah sekalipun mendapati engkau berdusta." Reputasi beliau sebagai Al-Amin (Yang Terpercaya) sudah tertanam kuat di benak masyarakat Mekah. Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Rasulullah ﷺ melanjutkan dengan inti pesannya, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang sangat pedih." Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala-berhala yang selama ini menjadi sesembahan nenek moyang mereka.

Di tengah keheningan yang menyelimuti kerumunan, ketika sebagian mungkin tertegun atau mencoba mencerna pesan yang baru mereka dengar, Abu Lahab justru bangkit dengan amarah yang meluap-luap. Ia menghancurkan momen sakral itu dengan ucapan yang penuh kebencian dan penghinaan. Sambil mengibaskan tangannya, ia berteriak, "Tabban laka sa'iral yaum! A-lihadza jama’tana?" yang artinya, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"

Ucapan ini bukan sekadar penolakan, melainkan sebuah kutukan dan delegitimasi total terhadap kenabian keponakannya di hadapan publik. Sebagai seorang paman, seharusnya ia menjadi pelindung. Namun, ia justru menjadi penentang pertama yang paling vokal. Saat itulah, sebagai pembelaan langsung dari langit, Allah SWT menurunkan Surat Al-Lahab. Sebuah jawaban yang membalikkan kutukan Abu Lahab kepadanya, mengabadikan kecelakaannya untuk dibaca oleh seluruh umat manusia hingga akhir zaman.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat

Surat Al-Lahab adalah sebuah mahakarya linguistik dan teologis. Setiap ayatnya mengandung lapisan makna yang mendalam, menunjukkan keadilan dan kekuasaan Allah SWT.

Ayat 1: Kepastian Kebinasaan Abu Lahab

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."

Ayat pertama ini adalah jawaban langsung atas kutukan Abu Lahab. Kata `Tabbat` (تَبَّتْ) berasal dari kata tabab yang berarti kerugian, kebinasaan, atau kehancuran total. Penggunaan bentuk lampau (past tense) dalam Al-Qur'an sering kali berfungsi untuk menunjukkan kepastian sesuatu yang akan terjadi, seolah-olah hal itu telah usai. Ini adalah vonis ilahi yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.

Frasa `Yadā Abī Lahab` (يَدَا أَبِي لَهَبٍ) secara harfiah berarti "kedua tangan Abu Lahab". Mengapa "kedua tangan"? Para ulama memberikan beberapa penafsiran. Pertama, ini adalah ungkapan idiomatik dalam bahasa Arab yang merujuk pada keseluruhan usaha, kekuatan, dan perbuatan seseorang. Tangan adalah simbol kerja dan daya. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa segala daya upaya, rencana, dan kekuatan yang dimiliki Abu Lahab untuk melawan Islam akan hancur dan sia-sia. Kedua, bisa jadi ini merujuk secara literal pada tangannya yang ia gunakan untuk mengusir atau hendak melempar batu kepada Nabi ﷺ. Apa pun penafsirannya, maknanya adalah kehancuran total bagi seluruh eksistensi dan usahanya.

Penyebutan `Abī Lahab` (أَبِي لَهَبٍ) sendiri sangat signifikan. Nama aslinya adalah Abdul Uzza, yang berarti "hamba Uzza" (salah satu berhala utama kaum Quraisy). Al-Qur'an tidak menggunakan nama syirik ini. Sebaliknya, Allah menggunakan julukannya, Abu Lahab, yang berarti "Bapak Api yang Bergejolak". Julukan ini mungkin diberikan karena wajahnya yang kemerahan atau temperamennya yang meledak-ledak. Namun, dalam konteks surah ini, nama tersebut menjadi sebuah ironi yang luar biasa dan penanda takdirnya. Bapak Api akan masuk ke dalam api.

Bagian akhir ayat, `wa tabb` (وَتَبَّ), berfungsi sebagai penegasan. Jika bagian pertama adalah doa kebinasaan (meskipun dalam bentuk berita), maka bagian kedua adalah pernyataan fakta (khabar) bahwa ia benar-benar telah binasa. Usahanya binasa, dan dirinya pun ikut binasa. Kerugiannya bersifat total, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat 2: Kesia-siaan Harta dan Usaha

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ "Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan."

Ayat ini meruntuhkan dua pilar utama kesombongan manusia pada masa itu (dan juga masa kini): harta dan status. Abu Lahab adalah seorang bangsawan Quraisy yang kaya raya dan memiliki kedudukan terpandang. Ia sering membanggakan kekayaannya dan menganggapnya sebagai pelindung dari segala ancaman. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, "Jika apa yang dikatakan keponakanku itu benar, maka aku akan menebus diriku dari azab pada hari kiamat dengan harta dan anak-anakku."

Allah membantah kesombongannya dengan firman-Nya `Mā aghnā ‘anhu māluhu` (مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ), yang berarti "tidak berguna baginya hartanya". Harta yang ia kumpulkan, yang menjadi sumber kebanggaan dan kekuasaannya, sama sekali tidak akan mampu menolongnya dari ketetapan Allah. Kekayaan itu tidak bisa membeli hidayah di dunia, tidak bisa menghalangi penyakit yang merenggut nyawanya, dan tentu saja tidak akan bisa menebusnya dari api neraka.

Frasa berikutnya, `wa mā kasab` (وَمَا كَسَبَ), memiliki makna yang lebih luas. Secara harfiah, ia berarti "dan apa yang ia usahakan/peroleh". Para mufasir memberikan beberapa interpretasi:

  1. Anak-anaknya: Dalam budaya Arab, anak laki-laki dianggap sebagai "kasab" (hasil usaha) seorang ayah, sumber kekuatan dan kebanggaan. Ayat ini menegaskan bahwa anak-anaknya pun tidak akan bisa menolongnya.
  2. Jabatan dan Kedudukan: Semua status sosial, pengaruh politik, dan kehormatan yang ia "peroleh" di kalangan kaumnya menjadi tidak bernilai di hadapan Allah.
  3. Amal Perbuatannya: "Apa yang ia usahakan" juga bisa merujuk pada segala perbuatan jahat, fitnah, dan permusuhan yang ia "kumpulkan" sepanjang hidupnya. Semua itu justru akan menjadi bumerang yang mencelakakannya.

Intinya, ayat ini memberikan pelajaran universal bahwa segala bentuk modal duniawi—baik berupa materi, keturunan, maupun jabatan—adalah fana dan tidak akan berdaya menghadapi keputusan Allah.

Ayat 3: Vonis Neraka yang Mengerikan

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak."

Setelah menyatakan kebinasaan di dunia dan kesia-siaan hartanya, ayat ini menjelaskan nasibnya di akhirat. Kata `Sayaṣlā` (سَيَصْلَىٰ) diawali dengan huruf sin (سَ), yang dalam tata bahasa Arab menunjukkan masa depan yang pasti akan terjadi. Kata yaṣlā sendiri berarti merasakan panasnya api, terbakar di dalamnya, atau memasukinya untuk menderita. Ini bukan sekadar 'masuk', tetapi menyatu dengan penderitaan api.

Deskripsi apinya pun sangat spesifik: `Nāran żāta lahab` (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ), "api yang memiliki lahab (gejolak/jilatan)". Di sinilah puncak keindahan dan kekuatan retorika Al-Qur'an (i'jaz balaghi). Nama kunyahnya, Abu Lahab (Bapak Gejolak Api), ternyata selaras dengan tempat kembalinya: api yang penuh gejolak (lahab). Seolah-olah namanya di dunia sudah menjadi pertanda dan bayangan dari takdirnya di akhirat. Ini adalah bentuk penghinaan yang sangat mendalam; namanya yang seharusnya menjadi kebanggaan justru menjadi cap abadi dari azabnya.

Ayat ini merupakan salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini turun di Mekah, belasan tahun sebelum Abu Lahab wafat. Sepanjang sisa hidupnya, Abu Lahab memiliki kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Ia hanya perlu berpura-pura masuk Islam, bahkan secara munafik sekalipun, maka kredibilitas surah ini (dan Al-Qur'an secara keseluruhan) akan runtuh. Namun, ia tidak pernah melakukannya. Ia tetap dalam kekafirannya, permusuhannya, dan akhirnya meninggal dalam keadaan kafir, tepat seperti yang telah "diramalkan" oleh Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukanlah karangan manusia, melainkan wahyu dari Zat Yang Maha Mengetahui masa depan.

Ayat 4: Keterlibatan Istrinya dalam Kejahatan

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ "Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."

Azab ini tidak hanya menimpa Abu Lahab seorang diri. Ayat ini menegaskan bahwa istrinya, `wamra'atuhu` (وَامْرَأَتُهُ), akan turut serta menemaninya dalam siksaan. Ini menunjukkan prinsip dalam Islam bahwa dosa dan tanggung jawab bersifat individual, tetapi ketika dua orang bersekongkol dan saling mendukung dalam kejahatan, mereka akan berbagi konsekuensi yang setimpal.

Istri Abu Lahab bernama Arwa binti Harb, dan julukannya adalah Ummu Jamil. Ia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan, seorang tokoh Quraisy yang juga memusuhi Islam di periode awal. Keterlibatannya menunjukkan bahwa permusuhan ini adalah "proyek keluarga" yang didukung penuh oleh istrinya. Ia tidak berusaha menasihati suaminya, malah menjadi kompor dan provokator utama.

Gelar yang diberikan Al-Qur'an kepadanya sangatlah menghinakan: `Ḥammālatal-ḥaṭab` (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ), "si pembawa kayu bakar". Ungkapan ini ditafsirkan oleh para ulama dalam beberapa makna yang saling melengkapi:

Ayat 5: Simbol Kehinaan Abadi

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ "Yang di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal."

Ayat terakhir menyempurnakan gambaran azab dan kehinaan bagi Ummu Jamil. `Fī jīdihā` (فِي جِيدِهَا) berarti "di lehernya". Kata yang digunakan untuk leher adalah jīd, sebuah kata dalam bahasa Arab yang biasanya digunakan untuk menggambarkan leher yang indah, jenjang, dan sering dihiasi perhiasan. Penggunaan kata ini mengandung sarkasme yang tajam. Leher yang di dunia ia banggakan dan hiasi dengan kalung-kalung mahal sebagai simbol status sosialnya, di akhirat akan dililit oleh sesuatu yang paling hina.

Diriwayatkan bahwa Ummu Jamil memiliki sebuah kalung yang sangat mewah dan berharga. Karena saking bencinya kepada Nabi, ia bersumpah, "Demi Latta dan Uzza, aku akan menjual kalung ini dan menggunakan uangnya untuk membiayai permusuhan terhadap Muhammad."

Maka, Allah membalasnya dengan `ḥablun min masad` (حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ), "seutas tali dari masad". Masad adalah tali yang terbuat dari serat atau sabut pohon kurma yang dipintal dengan kasar. Ini adalah jenis tali yang paling murah, kasar, dan digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan rendahan. Gambaran ini melambangkan puncak degradasi dan penghinaan.

Seperti ayat sebelumnya, gambaran ini juga bisa dimaknai secara duniawi dan ukhrawi. Di dunia, ini adalah penggambaran betapa rendah dan kasarnya perbuatannya (menyebar fitnah) di mata Allah, tak peduli seberapa mewah penampilannya. Di akhirat, ini adalah gambaran siksaan fisik yang nyata. Ia akan diseret atau dicekik dengan tali kasar ini di dalam neraka, sebuah pembalasan yang sempurna bagi kesombongan dan kejahatannya.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat Al-Lahab

Meskipun surat ini turun dalam konteks spesifik mengenai individu tertentu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan sepanjang masa.

1. Kekerabatan Tidak Menjamin Keselamatan

Pelajaran paling utama adalah bahwa hubungan darah dan nasab tidak memiliki nilai apa pun di hadapan Allah jika tidak disertai dengan iman dan takwa. Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, seorang anggota Bani Hasyim yang terhormat. Namun, kedekatan nasab ini sama sekali tidak menolongnya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah seperti Bilal bin Rabah (dari Ethiopia), Shuhaib Ar-Rumi (dari Romawi), dan Salman Al-Farisi (dari Persia) justru meraih kemuliaan tertinggi di sisi Rasulullah ﷺ karena keimanan mereka. Ini adalah penegasan prinsip meritokrasi iman dalam Islam: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

2. Kepastian Janji dan Ancaman Allah

Surat Al-Lahab adalah mukjizat yang membuktikan kebenaran Al-Qur'an. Ia memvonis Abu Lahab dan istrinya akan mati dalam keadaan kafir dan masuk neraka, saat keduanya masih hidup, sehat, dan berkuasa. Sejarah mencatat bahwa keduanya benar-benar mati dalam keadaan memusuhi Islam. Abu Lahab meninggal beberapa saat setelah kekalahan kaum musyrikin di Perang Badar. Ia tidak ikut berperang, dan ketika mendengar berita kekalahan itu, ia jatuh sakit. Ia menderita penyakit sejenis cacar atau kusta yang membuat tubuhnya bernanah dan bau, sehingga keluarganya sendiri menjauhinya. Ketika ia mati, mereka tidak berani menyentuh jasadnya karena takut tertular. Mereka hanya mendorongnya ke dalam sebuah lubang dengan kayu dan melempari kuburnya dengan batu dari kejauhan. Sebuah akhir yang sangat hina bagi seorang bangsawan.

Kematiannya yang mengenaskan ini menggenapi nubuat Al-Qur'an, membuktikan bahwa firman Allah adalah kebenaran mutlak yang melampaui ruang dan waktu.

3. Bahaya Lisan: Fitnah dan Adu Domba

Kisah Ummu Jamil, si "pembawa kayu bakar", adalah peringatan keras tentang bahaya lisan. Menyebar fitnah, mengadu domba, dan menyulut kebencian adalah dosa besar yang dapat menghancurkan tatanan sosial. Perbuatannya diibaratkan seperti menyalakan api; ia membakar keharmonisan, merusak persaudaraan, dan menciptakan kekacauan. Balasannya di akhirat pun setimpal, berhubungan dengan api dan kehinaan. Ini menjadi pelajaran bagi setiap Muslim untuk menjaga lisannya dari perkataan yang dapat menyakiti dan merusak hubungan antar sesama.

4. Keadilan Sempurna dalam Pembalasan Ilahi

Surat ini adalah contoh sempurna dari prinsip al-jazā' min jins al-‘amal (balasan setimpal dengan perbuatan). Setiap detail hukuman Abu Lahab dan istrinya adalah cerminan dari kejahatan mereka:

Keadilan ini menunjukkan bahwa Allah Maha Adil dan tidak menzalimi hamba-Nya. Setiap perbuatan, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan yang sangat sesuai dan proporsional.

Kesimpulan

Sebagai jawaban akhir, pertanyaan "setelah surat an nasr adalah surat apa?" menuntun kita dari euforia kemenangan (An-Nasr) kepada realita pertempuran abadi antara kebenaran dan kebatilan (Al-Lahab). Surat Al-Lahab bukanlah sekadar catatan sejarah tentang permusuhan seorang paman terhadap keponakannya. Ia adalah sebuah deklarasi ilahi yang abadi tentang nasib kesombongan, kekuatan kebenaran, dan keadilan Tuhan yang sempurna. Ia mengajarkan kita bahwa kekayaan, kekuasaan, dan garis keturunan tidak akan pernah bisa menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan permusuhan terhadap kebenaran. Surah ini akan terus dibaca hingga hari kiamat sebagai pengingat tegas bahwa pada akhirnya, segala tipu daya kebatilan akan hancur lebur, dan hanya kebenaranlah yang akan kekal.

🏠 Homepage