Membedah Makna di Balik Lafal Terakhir Surah An-Nasr Ayat 3

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah samudra ilmu yang tak bertepi. Setiap surah, setiap ayat, bahkan setiap katanya mengandung hikmah dan petunjuk yang mendalam. Salah satu surah yang singkat namun sarat makna adalah Surah An-Nasr. Surah ke-110 dalam Al-Qur'an ini hanya terdiri dari tiga ayat, tetapi ia merangkum esensi dari sebuah kemenangan, puncak dari sebuah perjuangan, dan adab seorang hamba di hadapan Tuhannya. Banyak pertanyaan muncul dari surah ini, salah satunya adalah sebuah pertanyaan spesifik: surah An-Nasr ayat 3 diakhiri dengan lafal apa? Jawaban atas pertanyaan ini bukan sekadar pengetahuan hafalan, melainkan sebuah pintu gerbang untuk memahami pesan agung tentang kerendahan hati, kesempurnaan agama, dan rahmat Allah yang tak terbatas.

Untuk menjawabnya secara langsung, Surah An-Nasr ayat 3 diakhiri dengan lafal tawwābā (تَوَّابًا). Namun, berhenti pada jawaban ini saja akan membuat kita kehilangan keindahan dan kedalaman maknanya. Mengapa surah yang berbicara tentang kemenangan besar justru ditutup dengan sebuah kata yang berarti "Maha Penerima Tobat"? Di sinilah letak keagungan Al-Qur'an. Mari kita selami lebih dalam, ayat per ayat, untuk mengungkap rahasia di balik lafal penutup yang penuh hikmah ini.

Konteks dan Keagungan Surah An-Nasr

Sebelum membedah ayat per ayat, penting untuk memahami konteks turunnya (Asbabun Nuzul) Surah An-Nasr. Para ulama tafsir mayoritas berpendapat bahwa surah ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah) pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriah. Namun, ada juga yang berpendapat surah ini turun pada saat Haji Wada', haji perpisahan Nabi Muhammad ﷺ, tidak lama sebelum beliau wafat. Terlepas dari perbedaan waktu yang tipis, konsensusnya adalah surah ini merupakan salah satu surah yang turun paling akhir, menandakan sebuah fase akhir dari risalah kenabian.

Surah ini diberi nama An-Nasr, yang berarti "Pertolongan". Nama ini diambil dari kata pertama pada ayat pertama. Ia adalah proklamasi ilahi bahwa pertolongan Allah telah datang dan kemenangan telah terwujud. Kemenangan yang dimaksud bukanlah sekadar kemenangan militer, melainkan kemenangan ideologi, kemenangan kebenaran atas kebatilan, dan kemenangan tauhid atas kemusyrikan yang telah mengakar ratusan tahun di Jazirah Arab.

Tafsir Ayat 1: Datangnya Pertolongan dan Kemenangan

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat pertama ini membuka surah dengan sebuah kalimat syarat yang penuh kepastian: "Apabila telah datang...". Kata "nasrullāh" (نَصْرُ اللَّهِ) berarti "pertolongan Allah". Penyandaran kata "nasr" (pertolongan) kepada "Allah" menunjukkan bahwa pertolongan ini bersifat agung, mutlak, dan datang langsung dari sumber segala kekuatan. Ini bukan pertolongan biasa, melainkan intervensi ilahi yang menentukan jalannya sejarah. Perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ selama lebih dari dua dekade, yang penuh dengan penolakan, intimidasi, pengusiran, dan peperangan, kini mencapai puncaknya dengan pertolongan yang dijanjikan.

Selanjutnya, lafal "wal-fath" (وَالْفَتْحُ) yang berarti "dan kemenangan" atau "dan penaklukan". Para mufasir secara ijma' (konsensus) menafsirkan bahwa "al-fath" di sini secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah. Mengapa Fathu Makkah begitu istimewa? Karena Makkah adalah pusat spiritual, sosial, dan politik Jazirah Arab. Di sanalah Ka'bah berdiri, kiblat umat Islam. Selama bertahun-tahun, kota ini dikuasai oleh kaum Quraisy yang memusuhi Islam. Penaklukan Makkah, yang luar biasanya terjadi hampir tanpa pertumpahan darah, adalah bukti nyata bahwa Allah telah memenangkan agama-Nya. Jatuhnya Makkah ke pangkuan Islam menjadi titik balik yang mengakhiri perlawanan terorganisir terhadap dakwah di seluruh semenanjung Arab.

Tafsir Ayat 2: Buah dari Kemenangan

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat kedua ini menjelaskan dampak langsung dari pertolongan dan kemenangan yang disebutkan pada ayat pertama. Kata "ra'aita" (رَأَيْتَ) berarti "engkau melihat". Ini adalah pemandangan yang disaksikan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Apa yang mereka lihat? Mereka melihat "an-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā" (النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا), manusia masuk ke dalam agama Allah (Islam) secara berbondong-bondong.

Lafal "afwājā" (أَفْوَاجًا) adalah kata kunci di sini. Ia berarti rombongan demi rombongan, kelompok demi kelompok, dalam jumlah yang sangat besar. Sebelum Fathu Makkah, orang-orang yang masuk Islam kebanyakan adalah individu atau keluarga kecil, seringkali secara sembunyi-sembunyi karena takut akan tekanan dari kaum mereka. Namun, setelah Makkah ditaklukkan, suku-suku Arab yang sebelumnya bersikap menunggu dan melihat ('wait and see') menjadi yakin akan kebenaran Islam. Mereka melihat bahwa kekuatan yang menyertai Muhammad ﷺ bukanlah kekuatan manusia biasa, melainkan kekuatan ilahi. Delegasi dari berbagai suku seperti Bani Thaqif, Bani Tamim, dan suku-suku dari Yaman datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Fenomena ini begitu masif sehingga tahun ke-9 Hijriah, setelah Fathu Makkah, dikenal sebagai 'Ām al-Wufūd' atau "Tahun Delegasi". Ayat ini adalah deskripsi visual yang akurat tentang realitas sejarah tersebut.

Tafsir Ayat 3: Respon yang Tepat Atas Nikmat Kemenangan

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Inilah ayat inti yang menjadi fokus pembahasan kita. Setelah Allah menyebutkan dua nikmat terbesar—pertolongan-Nya dan masuknya manusia ke dalam agama-Nya—Allah tidak memerintahkan untuk berpesta, berbangga diri, atau membalas dendam. Sebaliknya, Allah memberikan tiga perintah sebagai adab dan respon yang benar atas kemenangan.

Analisis Perintah Pertama: "Fasabbih" (فَسَبِّحْ) - Bertasbihlah

Perintah pertama adalah untuk bertasbih. Tasbih secara bahasa berasal dari kata 'sabaha' yang berarti menjauh. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat-sifat yang tidak layak, dan dari segala sekutu. Ketika seorang hamba mengucapkan "Subhanallah", ia sedang menyatakan, "Maha Suci Engkau ya Allah dari segala cela".

Dalam konteks kemenangan, perintah bertasbih ini memiliki makna yang sangat dalam. Kemenangan ini bukanlah hasil dari kehebatan strategi manusia, kekuatan militer, atau kecerdasan Nabi semata. Kemenangan ini murni karena Allah Maha Suci dari kelemahan dan ketidakmampuan untuk menolong hamba-Nya. Dengan bertasbih, seorang Muslim mengakui bahwa kemenangan ini sempurna karena datang dari Zat Yang Maha Sempurna. Ini adalah cara untuk menundukkan ego dan menafikan andil diri sendiri, serta mengembalikan segala pujian hanya kepada-Nya.

Analisis Perintah Kedua: "Bihamdi Rabbika" (بِحَمْدِ رَبِّكَ) - Dengan Memuji Tuhanmu

Perintah tasbih ini digandengkan dengan tahmid atau pujian. Frasa "bihamdi rabbika" berarti "dengan memuji Tuhanmu". Jika tasbih adalah bentuk penyucian (negasi sifat buruk), maka tahmid adalah bentuk penetapan sifat-sifat mulia dan pujian atas segala nikmat-Nya (afirmasi sifat baik). Keduanya adalah satu paket yang tak terpisahkan. Kita menyucikan Allah dari segala kekurangan, sambil pada saat yang sama kita memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan karunia-Nya.

Dalam momen kemenangan, seorang hamba memuji Allah karena Dialah yang memberikan kekuatan, Dialah yang membuka hati manusia, Dialah yang menepati janji-Nya. Kalimat zikir yang sering kita ucapkan, "Subhanallahi wa bihamdih" (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya), adalah cerminan langsung dari perintah dalam ayat ini. Ini adalah zikir syukur tertinggi.

Analisis Perintah Ketiga: "Wastagfirh" (وَاسْتَغْفِرْهُ) - Dan Mohonlah Ampunan kepada-Nya

Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Di puncak kejayaan, setelah misi hampir tuntas, mengapa Nabi Muhammad ﷺ, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa besar), diperintahkan untuk beristighfar atau memohon ampun? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat indah:

Puncak Jawaban: Makna di Balik Lafal "Tawwābā" (تَوَّابًا)

Setelah tiga perintah tersebut, ayat ini ditutup dengan kalimat penegas: "innahụ kāna tawwābā" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا). "Innahu" berarti "sesungguhnya Dia (Allah)". "Kāna" menunjukkan sesuatu yang selalu dan senantiasa bersifat demikian. Dan lafal penutupnya adalah "tawwābā".

Secara linguistik Arab, kata "Tawwāb" berasal dari akar kata T-W-B (ت-و-ب) yang artinya "kembali". Kata ini berada dalam wazan (pola kata) fa''āl (فَعَّال), yang dalam ilmu tata bahasa Arab menunjukkan makna mubalaghah (intensitas, superlatif) dan pengulangan. Artinya, "Tawwāb" bukan sekadar "penerima tobat", melainkan "Maha Penerima Tobat". Maknanya mencakup:

تَوَّابًا Kaligrafi lafal Tawwābā Kaligrafi Arab untuk kata Tawwābā dari Surah An-Nasr ayat 3.

Jadi, ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk beristighfar, Dia langsung menutupnya dengan sebuah jaminan yang menenangkan hati. Seolah-olah Allah berfirman, "Mohonlah ampun kepada-Ku, karena sesungguhnya Aku SUDAH, SEDANG, dan AKAN SELALU menjadi Maha Penerima Tobat". Ini adalah puncak dari rahmat dan kasih sayang Allah. Penutup ini memberikan harapan tak terbatas bagi setiap hamba. Ia mengajarkan bahwa setelah kita berusaha menyucikan-Nya (tasbih), memuji-Nya (tahmid), dan mengakui kekurangan kita (istighfar), Allah menyambut kita dengan sifat-Nya yang Maha Menerima kepulangan hamba-Nya.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr

Meskipun surah ini turun dalam konteks spesifik Fathu Makkah dan akhir kehidupan Nabi, pesannya bersifat universal dan abadi bagi setiap Muslim di setiap zaman.

  1. Adab dalam Meraih Kesuksesan: Surah ini mengajarkan etika kesuksesan dalam Islam. Setiap kali kita meraih "kemenangan" dalam hidup—baik itu lulus ujian, mendapatkan pekerjaan, berhasil dalam proyek, atau sembuh dari penyakit—respon yang diajarkan bukanlah kesombongan, melainkan tasbih, tahmid, dan istighfar. Akui bahwa semua itu datang dari Allah, puji Dia atas karunia-Nya, dan mohon ampun atas segala kekurangan kita dalam proses meraihnya.
  2. Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan: Perintah istighfar di saat kemenangan mengajarkan kita bahwa istighfar bukanlah hanya untuk para pendosa. Ia adalah nafas bagi setiap jiwa yang beriman, sebuah cara untuk terus-menerus memoles hati dan memperkuat hubungan dengan Allah, baik di saat lapang maupun sempit.
  3. Optimisme dan Harapan kepada Allah: Penutup surah dengan lafal "Tawwābā" adalah sumber optimisme yang luar biasa. Ia mengingatkan kita bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni oleh Allah, selama kita mau kembali kepada-Nya. Nama-Nya At-Tawwāb adalah jaminan bahwa pintu rahmat-Nya selalu terbuka lebar.
  4. Tanda Selesainya Sebuah Tugas: Surah ini juga menjadi pengingat bahwa setiap tugas dan amanah di dunia ini memiliki batas waktu. Puncak dari sebuah pencapaian seringkali merupakan pertanda bahwa tugas tersebut telah usai. Ini mengajarkan kita untuk selalu mawas diri dan mempersiapkan diri untuk fase selanjutnya, yaitu kehidupan setelah kematian.

Kesimpulan

Kembali ke pertanyaan awal: surah An-Nasr ayat 3 diakhiri dengan lafal apa? Jawabannya adalah lafal "tawwābā" (تَوَّابًا).

Namun, kini kita memahami bahwa lafal ini bukanlah sekadar kata penutup. Ia adalah kunci pemahaman seluruh surah. Ia adalah puncak dari sebuah narasi kemenangan yang agung. Sebuah kemenangan yang tidak dirayakan dengan arogansi, melainkan dengan puncak ketundukan: menyucikan Allah, memuji-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Dan sebagai balasannya, Allah menegaskan sifat-Nya yang paling menenangkan bagi seorang hamba: bahwa Dia adalah At-Tawwāb, Dzat yang senantiasa membuka pintu ampunan-Nya, menyambut setiap hamba yang ingin kembali. Surah An-Nasr, dengan segala kepadatan maknanya, adalah cetak biru bagi setiap Muslim tentang bagaimana memulai, menjalani, dan mengakhiri setiap perjuangan dan kemenangan dalam hidup, yaitu dengan senantiasa kembali kepada Allah SWT.

🏠 Homepage