Menguak Klasifikasi Surah An-Nasr: Madaniyah atau Makkiyah?

Ilustrasi Ka'bah dengan sinar kemenangan Kemenangan yang Dinantikan Ilustrasi Ka'bah dengan sinar yang memancar, melambangkan kemenangan dan pertolongan Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah An-Nasr.

Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surah terpendek namun memiliki kandungan makna yang luar biasa dalam. Terdiri dari tiga ayat, surah ini membawa kabar gembira, arahan spiritual, dan isyarat penting bagi perjalanan dakwah Islam. Sebuah pertanyaan fundamental yang sering muncul di kalangan penuntut ilmu adalah: surah An-Nasr tergolong surah Makkiyah atau Madaniyah? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi membuka pintu pemahaman yang lebih luas tentang konteks historis, pesan utama, dan hikmah agung di balik turunnya surah ini.

Memahami klasifikasi sebuah surah adalah langkah awal yang krusial dalam menafsirkan Al-Qur'an. Klasifikasi ini membantu kita menempatkan ayat-ayat pada linimasa wahyu yang benar, memahami kondisi sosio-politik umat Islam saat itu, dan menangkap evolusi syariat serta dakwah Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, mari kita selami lebih dalam untuk menjawab pertanyaan ini secara komprehensif, berdasarkan dalil dan analisis para ulama tafsir.

Membedah Definisi Makkiyah dan Madaniyah

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami kriteria yang digunakan para ulama dalam mengklasifikasikan surah-surah Al-Qur'an menjadi Makkiyah dan Madaniyah. Terdapat tiga pendekatan utama yang saling melengkapi:

  1. Berdasarkan Waktu (Zaman): Ini adalah definisi yang paling populer dan dianggap paling akurat. Menurut pendekatan ini, surah Makkiyah adalah surah yang turun sebelum peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Sebaliknya, surah Madaniyah adalah surah yang turun setelah peristiwa Hijrah, sekalipun ayat tersebut turun di Makkah (seperti saat Haji Wada' atau Fathu Makkah).
  2. Berdasarkan Tempat (Makan): Pendekatan ini mendefinisikan surah Makkiyah sebagai surah yang turun di kota Makkah dan sekitarnya (seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah). Sementara surah Madaniyah adalah yang turun di kota Madinah dan sekitarnya (seperti Uhud, Quba', dan Badar).
  3. Berdasarkan Objek Pembicaraan (Khitab): Pendekatan ini melihat kepada siapa seruan dalam ayat ditujukan. Jika seruan menggunakan frasa "Yaa ayyuhan-naas" (Wahai sekalian manusia), cenderung diklasifikasikan sebagai Makkiyah karena seruannya bersifat umum kepada seluruh umat manusia. Jika seruan menggunakan "Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu" (Wahai orang-orang yang beriman), cenderung diklasifikasikan sebagai Madaniyah, karena ditujukan kepada komunitas Muslim yang sudah terbentuk di Madinah.

Meskipun ketiga pendekatan ini ada, para ulama lebih condong menggunakan pendekatan pertama (berdasarkan waktu) sebagai patokan utama karena lebih konsisten dan mampu mencakup semua ayat tanpa terkecuali. Dengan landasan pemahaman ini, kita dapat mulai menganalisis Surah An-Nasr.

Konteks Historis Penurunan Surah An-Nasr (Asbabun Nuzul)

Untuk menentukan klasifikasi Surah An-Nasr, kita harus melihat kapan surah ini diwahyukan. Mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ada ijma' (konsensus), menyatakan bahwa Surah An-Nasr turun setelah peristiwa Hijrah. Secara spesifik, surah ini diyakini turun pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah SAW, yaitu sekitar peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah) pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriyah, atau sesudahnya pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan) pada tahun ke-10 Hijriyah.

Karena waktu turunnya jelas-jelas setelah Hijrah, maka berdasarkan definisi yang paling kuat (berdasarkan waktu), Surah An-Nasr tergolong surah Madaniyah. Meskipun sebagian riwayat menyebutkan ia turun di Mina (dekat Makkah) saat Haji Wada', statusnya tetap Madaniyah karena waktunya adalah pasca-Hijrah.

Konteks penaklukan Makkah menjadi kunci untuk memahami setiap kata dalam surah ini. Setelah bertahun-tahun penindasan, pengusiran, dan peperangan, kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW akhirnya kembali ke Makkah bukan sebagai orang-orang yang terusir, melainkan sebagai pemenang. Namun, kemenangan ini bukanlah kemenangan yang diwarnai arogansi atau balas dendam. Fathu Makkah adalah sebuah peristiwa penaklukan yang nyaris tanpa pertumpahan darah, dipenuhi dengan pengampunan dan kemuliaan. Inilah "pertolongan Allah" dan "kemenangan" yang dijanjikan.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surah An-Nasr

Mari kita bedah makna yang terkandung dalam tiga ayat agung ini untuk melihat bagaimana kontennya sangat selaras dengan periode Madaniyah, khususnya fase kemenangan Islam.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan," (QS. An-Nasr: 1)

Ayat 1: Janji Kemenangan yang Terbukti

Kata kunci pada ayat pertama adalah "Nashrullah" (نَصْرُ اللَّهِ) dan "Al-Fath" (الْفَتْحُ).

Nashrullah berarti "pertolongan Allah". Penyandaran kata "pertolongan" kepada "Allah" menegaskan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah semata-mata karena kekuatan militer, strategi, atau jumlah pasukan kaum Muslimin. Kemenangan tersebut murni anugerah dan bantuan langsung dari Allah SWT. Ini adalah tema yang konsisten dalam Al-Qur'an, bahwa kemenangan sejati hanya datang dari sisi-Nya. Tema ini sangat relevan dengan fase Madaniyah di mana kaum Muslimin terlibat dalam berbagai pertempuran dan perjanjian, yang puncaknya adalah Fathu Makkah.

Al-Fath secara harfiah berarti "pembukaan" atau "kemenangan". Para mufassir sepakat bahwa "Al-Fath" yang dimaksud di sini adalah Fathu Makkah. Penggunaan kata sandang "Al" (ال) menunjukkan sebuah kemenangan yang spesifik, yang sudah dikenal dan dinanti-nantikan. Penaklukan Makkah bukan sekadar penaklukan sebuah kota. Ia adalah runtuhnya benteng kesyirikan terbesar di Jazirah Arab dan terbukanya pintu hidayah bagi seluruh kabilah Arab.

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah," (QS. An-Nasr: 2)

Ayat 2: Fenomena Konversi Massal

Ayat kedua menggambarkan dampak langsung dari "Al-Fath". Kata "Afwaja" (أَفْوَاجًا) berarti "berkelompok-kelompok" atau "berbondong-bondong".

Sebelum Fathu Makkah, banyak kabilah Arab yang bersikap menunggu (wait and see). Mereka menganggap pertarungan antara kaum Muslimin dengan kaum Quraisy Makkah sebagai pertarungan sentral. Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy). Jika ia menang atas mereka, maka ia adalah nabi yang benar." Ketika Makkah, pusat spiritual dan kekuatan Arab, berhasil ditaklukkan dengan cara yang damai dan penuh kemuliaan, keraguan mereka sirna. Mereka sadar bahwa ini bukanlah kekuatan manusia biasa, melainkan pertolongan ilahi.

Akibatnya, delegasi dari berbagai kabilah seperti Tsaqif, Hawazin, dan suku-suku dari Yaman datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara massal. Fenomena ini dikenal sebagai "Tahun Delegasi" ('Am al-Wufud) yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah. Ini adalah pemandangan yang belum pernah terjadi pada periode Makkiyah, di mana dakwah masih bersifat personal dan penuh tantangan. Pemandangan manusia masuk Islam secara berbondong-bondong adalah ciri khas dari fase kemenangan di periode Madaniyah.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." (QS. An-Nasr: 3)

Ayat 3: Respon Spiritual di Puncak Kemenangan

Ayat terakhir ini berisi arahan dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW (dan juga umatnya) tentang bagaimana seharusnya merespon nikmat kemenangan yang agung. Arahan ini sangat unik dan mendalam.

"Fasabbih bihamdi Rabbika" (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ) berarti "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah untuk bertasbih (menyucikan Allah dari segala kekurangan) dan bertahmid (memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan nikmat) adalah resep untuk menghindari kesombongan dan keangkuhan di saat jaya. Kemenangan seringkali menjadi ujian yang lebih berat daripada kesulitan. Dengan bertasbih dan bertahmid, seorang hamba mengembalikan semua pujian dan kehebatan kepada Sang Pemberi Kemenangan, yaitu Allah SWT.

"Wastaghfirhu" (وَاسْتَغْفِرْهُ) berarti "dan mohonlah ampun kepada-Nya". Ini adalah bagian yang paling menyentuh dan paling banyak dibahas oleh para ulama. Mengapa di puncak kesuksesan, setelah tugas dakwah selama 23 tahun hampir paripurna, Rasulullah SAW diperintahkan untuk beristighfar? Ada beberapa makna mendalam di baliknya:

"Innahu kaana Tawwaaba" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا), "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat". Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah yang Maha Menerima taubat. Ini adalah kabar gembira dan penenang bagi hati. Sebesar apapun kekurangan kita, pintu taubat Allah selalu terbuka lebar bagi hamba-Nya yang tulus kembali.

Hikmah dan Pelajaran Agung dari Surah An-Nasr

Sebagai surah Madaniyah yang menandai puncak dari perjuangan dakwah, Surah An-Nasr mengandung pelajaran abadi bagi umat Islam di setiap zaman.

1. Hakikat Pertolongan dan Kemenangan

Surah ini mengajarkan bahwa kemenangan hakiki tidak pernah lepas dari pertolongan Allah. Usaha manusia, strategi, dan kekuatan hanyalah sebab. Hasil akhir sepenuhnya berada dalam genggaman-Nya. Ini menumbuhkan sikap tawakal yang benar, yaitu berusaha maksimal sambil menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah.

2. Etika Kemenangan dalam Islam

Islam memberikan panduan unik tentang cara merayakan kemenangan. Bukan dengan pesta pora, arogansi, atau balas dendam, melainkan dengan meningkatkan ibadah, menyucikan nama Allah (tasbih), memuji-Nya (tahmid), dan memohon ampunan-Nya (istighfar). Ini adalah manifestasi syukur yang paling tinggi.

3. Universalitas Dakwah Islam

Ayat kedua menunjukkan visi Islam yang rahmatan lil 'alamin. Ketika rintangan utama (kesyirikan di Makkah) runtuh, manusia dari berbagai suku dan latar belakang berbondong-bondong menerima cahaya Islam. Ini menunjukkan bahwa fitrah manusia akan selalu condong kepada kebenaran jika disajikan dengan cara yang benar dan tanpa halangan.

4. Setiap Puncak adalah Awal dari Akhir

Isyarat tentang dekatnya wafat Rasulullah SAW mengajarkan kita tentang siklus kehidupan. Setiap tugas memiliki akhir. Puncak pencapaian di dunia adalah sinyal bahwa perjalanan akan segera berakhir dan kita harus mempersiapkan diri untuk menghadap Allah. Oleh karena itu, di puncak kesuksesan, seorang mukmin justru semakin meningkatkan persiapan spiritualnya.

5. Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan

Jika Rasulullah SAW, sosok yang maksum (terjaga dari dosa besar), diperintahkan untuk beristighfar di momen kemenangan terbesarnya, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kelalaian. Istighfar bukanlah tanda kelemahan atau pengakuan dosa semata, tetapi juga merupakan bentuk ibadah, penyempurna amal, dan cara untuk selalu merasa terhubung dan butuh kepada Allah.

Kesimpulan: Penegasan Status Madaniyah

Berdasarkan seluruh analisis di atas—mulai dari waktu turunnya wahyu, konteks historis (asbabun nuzul), hingga kandungan makna (tafsir) setiap ayatnya—dapat disimpulkan tanpa keraguan sedikit pun bahwa Surah An-Nasr tergolong surah Madaniyah.

Temanya yang berkisar pada kemenangan final, konversi massal, dan etika setelah meraih kekuasaan, sangat kontras dengan tema-tema surah Makkiyah yang umumnya berfokus pada penanaman akidah, kesabaran dalam menghadapi penindasan, dan argumen-argumen menentang politeisme. Surah An-Nasr adalah surah penutup perjuangan, sebuah pengumuman ilahi bahwa misi kenabian telah sempurna dan agama Allah telah menang. Ia adalah epilog yang manis dari sebuah perjalanan dakwah yang penuh liku, dan sekaligus prolog bagi umat Islam untuk melanjutkan risalah dengan sikap syukur, tasbih, dan istighfar.

🏠 Homepage