Menguak Misteri Al-Mu'awwidzatain: Ketika Surat An-Nas Diturunkan Bersama Surat Al-Falaq

Al-Qur'an adalah kalam ilahi, sebuah mukjizat abadi yang diturunkan tidak hanya sebagai pedoman hidup, tetapi juga sebagai penyembuh (syifa) dan pelindung bagi kaum beriman. Setiap surat, bahkan setiap ayat di dalamnya, membawa lautan makna dan keutamaan yang tak terhingga. Di antara sekian banyak surat mulia, terdapat dua surat yang memiliki kedudukan sangat istimewa, yang diturunkan secara bersamaan dalam satu peristiwa yang penuh hikmah. Keduanya dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain, yaitu dua surat yang berisi permohonan perlindungan. Surat-surat tersebut adalah Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas.

Kisah diturunkannya dua surat ini bukanlah sekadar riwayat biasa. Ia adalah manifestasi dari kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang paling mulia, Rasulullah Muhammad ﷺ, sekaligus menjadi pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia tentang bagaimana cara memohon perlindungan kepada Sang Pencipta dari segala bentuk kejahatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan wahyu tersebut, menyelami makna mendalam di balik setiap ayatnya, dan mengungkap rahasia mengapa surat An-Nas diturunkan bersama surat Al-Falaq sebagai perisai pamungkas bagi seorang hamba.

Perisai Pelindung
Sebuah perisai sebagai simbol perlindungan ilahi yang terkandung dalam Al-Mu'awwidzatain.

Asbabun Nuzul: Peristiwa di Balik Turunnya Wahyu Perlindungan

Untuk memahami kedalaman makna Surat An-Nas dan Al-Falaq, kita harus menengok kembali kepada sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul). Riwayat yang paling masyhur dan diterima oleh para ulama tafsir menyebutkan bahwa kedua surat ini diturunkan sebagai jawaban ilahi atas sebuah ujian berat yang menimpa Rasulullah ﷺ. Beliau menjadi sasaran praktik sihir yang sangat jahat, yang dilancarkan oleh seorang Yahudi dari kabilah Bani Zuraiq bernama Labid bin al-A'sam.

Labid, yang dibantu oleh anak-anak perempuannya, melakukan sihir dengan menggunakan media yang sangat personal, yaitu beberapa helai rambut Rasulullah ﷺ yang rontok dan tersangkut di sela-sela sisirnya, beserta beberapa gigi dari sisir tersebut. Benda-benda ini kemudian ia gunakan untuk membuat sebelas ikatan atau buhul pada seutas tali. Setiap buhul ditiup dengan mantera-mantera sihir. Bungkusan jahat ini kemudian ia sembunyikan di dasar sebuah sumur tua yang sudah kering bernama Sumur Dzarwan.

Dampak dari sihir ini mulai dirasakan oleh Rasulullah ﷺ. Beliau mengalami keadaan yang tidak biasa. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Beliau merasa lesu, pikirannya menjadi linglung, dan bahkan dalam urusan rumah tangga, beliau merasa telah mendatangi istri-istrinya padahal kenyataannya tidak. Ini adalah sebuah ujian yang sangat berat, yang menyerang aspek fisik dan mental beliau. Namun, penting untuk dicatat, sihir ini sama sekali tidak memengaruhi kapasitas kenabian dan kerasulan beliau. Kemampuan beliau untuk menerima dan menyampaikan wahyu tetap terjaga sempurna oleh Allah SWT.

Dalam keadaan yang penuh kepayahan inilah, pertolongan Allah datang. Suatu malam, ketika Rasulullah ﷺ sedang tidur, beliau bermimpi didatangi oleh dua sosok yang diyakini sebagai malaikat. Satu malaikat duduk di dekat kepala beliau, dan yang satu lagi di dekat kaki beliau. Mereka berdialog, mengungkap rahasia di balik penderitaan yang dialami oleh Sang Nabi.

Salah satu malaikat bertanya, “Apa yang diderita oleh orang ini?” Malaikat yang lain menjawab, “Ia terkena sihir (matbub).” Yang pertama bertanya lagi, “Siapa yang menyihirnya?” Dijawab, “Labid bin al-A’sam.” Pertanyaan berlanjut, “Dengan media apa ia melakukannya?” Dijawab, “Dengan sisir, rontokan rambut, dan seludang mayang kurma jantan.” Dan ketika ditanya di mana benda itu disembunyikan, malaikat itu menjawab, “Di sumur Dzarwan.”

Setelah terbangun, Rasulullah ﷺ dengan ditemani oleh beberapa sahabat setianya, termasuk Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Ammar bin Yasir, segera menuju lokasi yang ditunjukkan dalam mimpi. Setibanya di sana, mereka mendapati sumur tersebut persis seperti yang digambarkan. Airnya tampak kemerahan seperti rendaman daun pacar dan pohon-pohon kurma di sekitarnya seolah memiliki kepala seperti kepala setan. Beliau kemudian memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan bungkusan sihir tersebut. Di dalamnya, ditemukan seutas tali dengan sebelas buhul atau simpul.

Pada saat itulah, Malaikat Jibril turun membawa wahyu dari Allah SWT, yaitu Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas. Kedua surat ini, jika digabungkan, memiliki total sebelas ayat; Al-Falaq lima ayat dan An-Nas enam ayat. Jibril kemudian membimbing Rasulullah ﷺ untuk membaca kedua surat tersebut. Setiap kali satu ayat dibacakan, secara ajaib satu buhul pada tali itu terlepas. Ketika ayat pertama dibaca, buhul pertama terurai. Ketika ayat kedua dibaca, buhul kedua pun lepas. Begitu seterusnya hingga seluruh sebelas ayat selesai dibacakan dan semua sebelas buhul terlepas. Seketika itu juga, Rasulullah ﷺ merasakan kelegaan luar biasa, seolah-olah beliau baru saja dilepaskan dari ikatan yang berat. Beliau kembali sehat dan bugar seperti sedia kala. Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang mengapa kedua surat ini diturunkan secara bersamaan dan menjadi penawar paling ampuh terhadap sihir dan segala bentuk kejahatan.

Tafsir dan Makna Mendalam Surat An-Nas: Perlindungan dari Musuh Internal

Surat An-Nas, yang terdiri dari enam ayat, secara spesifik memohon perlindungan dari kejahatan yang bersifat internal, yaitu bisikan jahat yang menyusup ke dalam hati manusia. Mari kita selami makna dari setiap ayatnya.

Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

"Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.'"

Surat ini diawali dengan perintah "Qul" (Katakanlah), sebuah penegasan bahwa permohonan perlindungan ini bukanlah inisiatif pribadi semata, melainkan ajaran langsung dari Allah. Ini menginstruksikan kita untuk secara aktif dan sadar mengucapkan permohonan ini. Kata "A'udzu" (Aku berlindung) mengandung makna mencari suaka, penjagaan, dan benteng dari sesuatu yang ditakuti. Kepada siapa kita berlindung? "Bi-Rabbin-Naas" (kepada Tuhannya manusia). Penyebutan "Rabb" di sini sangatlah penting. Rabb adalah Tuhan yang Maha Memelihara, Menciptakan, Mengatur, dan Memberi rezeki. Dengan berlindung kepada Rabb manusia, kita mengakui bahwa hanya Dia yang memiliki kuasa penuh atas pemeliharaan dan perlindungan kita dari segala marabahaya, termasuk bahaya yang paling halus sekalipun.

Ayat 2: مَلِكِ النَّاسِ

"Rajanya manusia."

Setelah menyebut sifat "Rabb", Allah melanjutkan dengan sifat "Malik" (Raja). Jika Rabb berkaitan dengan pemeliharaan dan kasih sayang, Malik berkaitan dengan kekuasaan, kedaulatan, dan otoritas absolut. Seorang raja memiliki kuasa untuk memerintah dan menghukum, untuk melindungi rakyatnya dari musuh. Dengan menyebut Allah sebagai Raja manusia, kita menyerahkan diri sepenuhnya di bawah kedaulatan-Nya. Kita mengakui bahwa tidak ada kekuasaan lain yang mampu menandingi kekuasaan-Nya. Para raja di dunia kekuasaannya terbatas oleh ruang dan waktu, namun Allah adalah Raja yang kekuasaan-Nya meliputi segalanya, tanpa batas.

Ayat 3: إِلَٰهِ النَّاسِ

"Sesembahan manusia."

Ini adalah puncak dari pengakuan. Setelah mengakui Allah sebagai Pemelihara (Rabb) dan Penguasa (Malik), kita mengikrarkan-Nya sebagai satu-satunya "Ilah" (Sesembahan). Ilah adalah Dzat yang berhak untuk diibadahi, dicintai, dan ditaati secara mutlak. Tiga sifat ini—Rabb, Malik, Ilah—merupakan pilar utama dari tauhid. Urutannya sangat indah: kita berlindung kepada Dzat yang memelihara kita, yang memiliki kekuasaan mutlak atas kita, dan yang merupakan satu-satunya tujuan ibadah kita. Ini adalah pernyataan totalitas penghambaan, yang menjadi syarat utama diterimanya sebuah doa dan permohonan perlindungan.

Ayat 4: مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

"Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi."

Setelah menyebut kepada siapa kita berlindung, ayat ini menjelaskan dari apa kita berlindung. "Min syarri" (dari kejahatan). Kejahatan apa? "Al-waswaas", yaitu bisikan yang terus-menerus, berulang-ulang, dan halus. Bisikan ini bertujuan untuk menanamkan keraguan, was-was, keinginan berbuat maksiat, dan kelalaian dari mengingat Allah. Siapakah sumber bisikan ini? "Al-khannas". Kata ini berasal dari kata 'khanasa' yang berarti mundur, bersembunyi, atau menyelinap pergi. Ini adalah sifat utama setan. Ketika seorang hamba berdzikir dan mengingat Allah, setan akan mundur dan bersembunyi. Namun, ketika hamba itu lalai, setan akan kembali datang dan melancarkan bisikannya. Ini menggambarkan pertempuran spiritual yang terus-menerus terjadi di dalam diri manusia.

Ayat 5: الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ

"Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia."

Ayat ini menjelaskan medan pertempuran dari bisikan tersebut. "Fii shuduurin-naas" (ke dalam dada manusia). Kata "shudur" (jamak dari 'shadr') seringkali diartikan sebagai hati atau pusat kesadaran dan emosi. Ini menunjukkan betapa berbahayanya bisikan setan. Ia tidak menyerang dari luar secara fisik, melainkan menyusup langsung ke pusat kendali manusia, yaitu hatinya. Dari sanalah ia mencoba merusak niat, menggoyahkan iman, dan membelokkan kehendak. Serangan ini bersifat internal, personal, dan seringkali tidak disadari oleh korbannya.

Ayat 6: مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

"Dari (golongan) jin dan manusia."

Ayat penutup ini memberikan klarifikasi yang sangat penting. Sumber bisikan jahat yang harus kita waspadai ternyata bukan hanya berasal dari setan golongan jin (al-jinnah), tetapi juga dari golongan manusia (an-naas). Teman yang buruk, media yang merusak, atau siapa pun yang mengajak kepada kemungkaran dan menjauhkan dari kebaikan adalah 'setan' dalam wujud manusia. Mereka juga membisikkan keraguan dan kejahatan ke dalam hati kita. Dengan demikian, Surat An-Nas mengajarkan kita untuk memohon perlindungan komprehensif dari segala bentuk bisikan jahat, baik yang gaib maupun yang nyata, yang menyerang benteng pertahanan internal kita, yaitu hati.

Tafsir dan Makna Mendalam Surat Al-Falaq: Perlindungan dari Musuh Eksternal

Jika Surat An-Nas fokus pada perlindungan dari kejahatan internal, maka Surat Al-Falaq, yang terdiri dari lima ayat, berfokus pada permohonan perlindungan dari berbagai bentuk kejahatan eksternal yang mengancam dari luar. Mari kita bedah maknanya.

Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

"Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh.'"

Sama seperti Surat An-Nas, surat ini diawali dengan perintah "Qul a'udzu" (Katakanlah, aku berlindung). Namun, kali ini kita berlindung kepada "Rabbil-falaq". Kata "Al-Falaq" secara harfiah berarti 'yang terbelah'. Makna yang paling populer adalah waktu Subuh, ketika kegelapan malam terbelah oleh cahaya fajar. Ini adalah simbolisme yang sangat kuat. Dengan berlindung kepada Tuhan yang mampu membelah kegelapan pekat untuk mendatangkan cahaya terang, kita meyakini bahwa Dia juga Maha Mampu untuk membelah segala kesulitan, marabahaya, dan kejahatan untuk mendatangkan pertolongan, keselamatan, dan kelegaan. Sebagian ulama juga menafsirkan 'al-falaq' secara lebih umum sebagai segala sesuatu yang terbelah, seperti benih yang terbelah untuk menumbuhkan tunas, atau rahim yang terbelah saat melahirkan. Ini semua menunjukkan kekuasaan Allah atas penciptaan dan kehidupan.

Ayat 2: مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

"Dari kejahatan makhluk-Nya."

Ini adalah permohonan perlindungan yang sangat luas dan umum. "Min syarri maa khalaq" (dari kejahatan apa-apa yang Dia ciptakan). Ini mencakup segala potensi kejahatan yang bisa datang dari makhluk ciptaan Allah. Termasuk di dalamnya adalah kejahatan dari manusia lain (perampokan, pembunuhan, fitnah), kejahatan dari hewan (binatang buas, serangga berbisa), kejahatan dari jin, hingga kejahatan dari benda mati yang bisa mencelakakan (bencana alam, kecelakaan). Ayat ini mengajarkan kita untuk menyadari bahwa dalam setiap ciptaan, ada potensi baik dan buruk, dan hanya kepada Sang Pencipta kita bisa memohon perlindungan dari potensi buruk tersebut.

Ayat 3: وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

"Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita."

Setelah permohonan umum, Allah mengarahkan kita untuk memohon perlindungan dari kejahatan yang lebih spesifik. "Min syarri ghaasiqin idzaa waqab". "Ghaasiq" berarti kegelapan, dan "waqab" berarti telah masuk atau telah pekat. Jadi, kita berlindung dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Malam seringkali menjadi waktu di mana kejahatan merajalela. Para penjahat lebih mudah beraksi, binatang buas keluar mencari mangsa, dan energi-energi negatif lebih terasa. Kegelapan malam menjadi selubung bagi banyak keburukan. Dengan memohon perlindungan dari kejahatan malam, kita menyerahkan penjagaan diri kita di saat-saat paling rentan kepada Dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lalai.

Ayat 4: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

"Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul."

Ayat ini secara langsung merujuk pada praktik sihir yang menjadi sebab turunnya surat ini. "An-Naffaatsaati fil-'uqad". "An-Naffaatsaat" adalah bentuk jamak feminin yang merujuk pada para penghembus, yang dalam konteks ini adalah para penyihir (seringkali dipraktikkan oleh wanita pada masa itu) yang meniupkan mantera pada buhul-buhul atau simpul-simpul tali ("al-'uqad"). Ini adalah deskripsi yang sangat akurat tentang salah satu metode sihir yang paling umum. Allah mengajarkan kita secara eksplisit untuk berlindung dari kejahatan sihir, santet, dan segala praktik ilmu hitam yang berusaha mencelakai orang lain melalui cara-cara gaib. Ini adalah penegasan bahwa sihir itu nyata dan berbahaya, namun kekuatannya tidak akan pernah bisa mengalahkan kekuatan dan perlindungan Allah.

Ayat 5: وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

"Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki."

Ayat terakhir memohon perlindungan dari kejahatan yang lahir dari penyakit hati, yaitu "hasad" atau dengki. "Haasidin idzaa hasad" (orang yang dengki apabila ia mendengki). Hasad adalah perasaan tidak suka terhadap nikmat yang diterima orang lain dan berharap nikmat itu hilang darinya. Ini adalah emosi yang sangat merusak. Dari hasad bisa lahir fitnah, ghibah (menggunjing), adu domba, bahkan tindakan fisik yang mencelakakan. 'Penyakit 'ain' (pandangan mata jahat yang bisa menyebabkan sakit atau celaka) juga seringkali berasal dari kedengkian. Dengan berlindung dari kejahatan pendengki, kita memohon agar dijaga dari pandangan mata mereka, lisan mereka yang tajam, dan perbuatan mereka yang merugikan, yang semuanya dimotivasi oleh kebencian di dalam hati mereka.

Al-Mu'awwidzatain: Perisai Lengkap Seorang Mukmin

Ketika Surat An-Nas dan Al-Falaq dibaca bersama-sama, keduanya membentuk sebuah sistem perlindungan yang sempurna dan komprehensif. Keduanya saling melengkapi, laksana dua sisi dari sebuah perisai yang kokoh. Surat An-Nas melindungi kita dari dalam, dari musuh yang tak terlihat yang bersemayam di dalam dada, yaitu bisikan setan dari golongan jin dan manusia. Ia memperkuat benteng iman dan keteguhan hati.

Sementara itu, Surat Al-Falaq melindungi kita dari luar, dari berbagai ancaman eksternal yang nyata. Ia melindungi dari kejahatan semua makhluk secara umum, lalu secara spesifik dari bahaya kegelapan malam, sihir yang keji, dan kedengkian yang merusak. Jika hati kita telah dibentengi oleh Surat An-Nas, maka fisik dan kehidupan kita akan dilindungi oleh Surat Al-Falaq.

Karena keutamaannya yang luar biasa inilah, Rasulullah ﷺ sangat menganjurkan umatnya untuk rutin membaca Al-Mu'awwidzatain. Beliau sendiri menjadikannya sebagai wirid harian. Diriwayatkan bahwa beliau membacanya setiap pagi dan petang sebanyak tiga kali. Beliau bersabda bahwa siapa yang membacanya tiga kali di waktu pagi dan petang, maka itu akan mencukupinya dari segala sesuatu.

Selain itu, menjadi kebiasaan Rasulullah ﷺ sebelum tidur untuk mengumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniupkan padanya seraya membaca Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Setelah itu, beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuhnya. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. Ini adalah praktik ruqyah mandiri, sebuah cara untuk membentengi diri dari segala gangguan, baik fisik maupun gaib, selama kita tidur.

Kedua surat ini juga merupakan pilar utama dalam praktik ruqyah syar'iyyah (pengobatan dengan bacaan Al-Qur'an dan doa). Ketika seseorang mengalami gangguan jin, sihir, atau penyakit 'ain, Al-Mu'awwidzatain adalah bacaan wajib yang digunakan untuk mengusir dan menetralisir pengaruh buruk tersebut. Kisah turunnya kedua surat ini adalah bukti terbesar akan keampuhannya sebagai penawar sihir.

Sebagai penutup, kisah diturunkannya Surat An-Nas bersama Surat Al-Falaq adalah pelajaran berharga tentang hakikat perlindungan. Ia mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi segala bentuk kejahatan, baik yang berasal dari bisikan internal maupun serangan eksternal, tempat berlindung yang sejati hanyalah Allah SWT. Dia adalah Rabb, Malik, dan Ilah. Dia adalah Tuhan yang menguasai Subuh, yang mampu menyingkap segala kegelapan. Dengan merutinkan bacaan Al-Mu'awwidzatain, dengan meresapi maknanya, dan dengan keyakinan penuh akan pertolongan-Nya, seorang mukmin sesungguhnya tengah mengenakan baju zirah ilahi, sebuah perisai spiritual yang tidak akan mampu ditembus oleh kejahatan apa pun, atas izin Allah Yang Maha Kuasa.

🏠 Homepage