Mengungkap Misteri: Surat An-Nas Diturunkan di Kota Mana?
Ilustrasi perlindungan dari bisikan jahat dalam Surat An-Nas.
Di antara berbagai perbincangan mendalam dalam khazanah ilmu-ilmu Al-Qur'an, salah satu yang paling sering muncul adalah mengenai periodisasi turunnya wahyu. Setiap surat diklasifikasikan berdasarkan tempat dan waktu turunnya, yang kemudian dikenal dengan istilah Makkiyah (turun di Mekkah sebelum Hijrah) dan Madaniyah (turun di Madinah setelah Hijrah). Klasifikasi ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan membawa implikasi mendalam terhadap pemahaman konteks, gaya bahasa, dan kandungan pesan yang dibawa oleh surat tersebut. Salah satu surat yang menjadi pusat perdebatan menarik ini adalah Surat An-Nas, surat terakhir dalam urutan mushaf Al-Qur'an.
Pertanyaan mendasar yang kerap diajukan adalah: Surat An-Nas diturunkan di kota mana? Apakah ia tergolong surat Makkiyah atau Madaniyah? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah tunggal. Para ulama tafsir terkemuka memiliki pandangan yang berbeda, masing-masing didasarkan pada dalil dan argumen yang kuat. Membedah perdebatan ini membawa kita pada pemahaman yang lebih kaya, tidak hanya tentang Surat An-Nas itu sendiri, tetapi juga tentang metodologi para ulama dalam menafsirkan Al-Qur'an.
Dua Pandangan Utama Ulama: Mekkah atau Madinah?
Secara garis besar, terdapat dua pendapat utama di kalangan ahli tafsir mengenai lokasi turunnya Surat An-Nas. Sebagian ulama menggolongkannya sebagai surat Makkiyah, sementara sebagian lainnya, yang merupakan pendapat mayoritas, meyakini bahwa ia adalah surat Madaniyah. Masing-masing pandangan memiliki dasar yang patut untuk dikaji secara saksama.
Pendapat Pertama: Surat An-Nas adalah Makkiyah
Sebagian ulama, seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ikrimah, ‘Atha, dan Jabir, berpendapat bahwa Surat An-Nas diturunkan di Mekkah. Argumen mereka umumnya didasarkan pada beberapa karakteristik yang melekat pada surat-surat Makkiyah.
Karakteristik Gaya Bahasa: Surat-surat Makkiyah sering kali memiliki ayat yang pendek, ritmis, dan bahasanya sangat kuat serta puitis. Tujuannya adalah untuk menggetarkan hati kaum musyrikin Quraisy yang pada saat itu sangat mahir dalam sastra Arab. Surat An-Nas, dengan ayat-ayatnya yang ringkas dan berirama, dinilai cocok dengan ciri khas ini.
Fokus pada Tauhid: Tema sentral surat-surat Makkiyah adalah peneguhan tauhid (keesaan Allah) dan penolakan terhadap segala bentuk syirik. Surat An-Nas secara eksplisit menegaskan tiga sifat utama Allah: Rabb (Tuhan Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilah (Sembahan) bagi seluruh manusia. Penekanan pada pilar-pilar tauhid ini dianggap sangat relevan dengan dakwah periode Mekkah, di mana Nabi Muhammad SAW berjuang untuk menanamkan pondasi akidah di tengah masyarakat pagan.
Bagi penganut pendapat ini, Surat An-Nas bersama Surat Al-Falaq merupakan penegasan awal dari konsep isti'adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari segala keburukan, sebuah konsep fundamental yang harus ditanamkan sejak dini dalam dakwah Islam.
Pendapat Kedua: Surat An-Nas adalah Madaniyah (Pendapat Mayoritas)
Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama, termasuk Ibnu Katsir dan para ahli hadis, adalah bahwa Surat An-Nas diturunkan di Madinah. Argumen ini tidak hanya didasarkan pada analisis konten, tetapi juga, dan ini yang paling kuat, pada riwayat Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu) yang sangat spesifik dan masyhur.
Dalil utama yang menjadi sandaran pendapat ini adalah sebuah peristiwa yang menimpa Rasulullah SAW di Madinah. Peristiwa ini berkaitan dengan praktik sihir yang dilakukan oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq bernama Labid bin Al-A'sham. Riwayat ini tercatat dalam berbagai kitab hadis sahih, termasuk Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Asbabun Nuzul: Kisah di Balik Turunnya Al-Mu'awwidzatain
Untuk memahami mengapa pendapat Madaniyah begitu kuat, kita harus menelusuri kisah yang melatarbelakangi turunnya Surat An-Nas dan Al-Falaq, yang secara kolektif dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain (dua surat pelindung).
Dikisahkan bahwa setelah periode perjanjian Hudaibiyah, interaksi antara kaum Muslimin dengan komunitas Yahudi di Madinah menjadi semakin intens. Di antara mereka, ada yang menyimpan kedengkian mendalam terhadap Nabi Muhammad SAW dan penyebaran Islam. Labid bin Al-A'sham, seorang munafik yang bersekutu dengan kaum Yahudi dan dikenal sebagai penyihir ulung, melancarkan serangan sihirnya kepada Rasulullah.
Ia menyuruh seorang budak perempuan muda yang biasa melayani Rasulullah untuk mengambil beberapa helai rambut Nabi yang rontok saat bersisir beserta beberapa gigi sisirnya. Setelah berhasil mendapatkannya, Labid membuat sebuah buhul sihir. Ia mengikat sebelas simpul pada seutas tali, meniupkan manteranya pada setiap simpul, lalu meletakkannya bersama rambut dan gigi sisir tersebut di dalam pelepah kurma jantan. Bungkusan sihir itu kemudian ia tenggelamkan dan ditindih dengan batu besar di dasar sumur tua milik Bani Zuraiq yang bernama Dzarwan.
Akibat sihir ini, Rasulullah SAW mulai merasakan dampak yang tidak biasa. Beliau merasa lesu, tidak enak badan, dan pikirannya terkadang terganggu. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal belum melakukannya, atau mendatangi istri-istrinya padahal tidak. Penting untuk dicatat, dampak sihir ini sama sekali tidak pernah memengaruhi wahyu kenabiannya. Fungsi beliau sebagai Rasul, penyampai risalah Allah, tetap terjaga sempurna. Gangguan itu hanya bersifat fisik dan mental pada aspek kemanusiaan beliau.
Keadaan ini berlangsung selama beberapa waktu hingga suatu malam, saat beliau sedang tidur, dua malaikat datang dalam wujud dua orang laki-laki. Satu duduk di dekat kepala beliau, dan yang lain di dekat kakinya. Terjadilah dialog di antara keduanya yang didengar oleh Rasulullah. "Apa yang diderita orang ini?" tanya salah satu malaikat. "Dia terkena sihir (matbub)," jawab yang lain. "Siapa yang menyihirnya?" "Labid bin Al-A'sham." "Dengan apa ia menyihirnya?" "Dengan sisir, rambut yang rontok, dan seludang mayang kurma jantan." "Di mana benda itu sekarang?" "Di sumur Dzarwan."
Setelah terbangun, Rasulullah SAW segera memahami apa yang terjadi. Beliau mengutus beberapa sahabatnya, di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Ammar bin Yasir, untuk pergi ke sumur tersebut. Setelah air sumur dikuras, yang tampak berwarna kemerahan seperti air rendaman daun pacar, mereka mengangkat batu di dasarnya dan menemukan bungkusan pelepah kurma itu. Di dalamnya, terdapat rambut beliau dan seutas tali dengan sebelas simpul.
Pada saat itulah, Allah SWT menurunkan dua surat sekaligus: Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas. Gabungan kedua surat ini berjumlah sebelas ayat. Malaikat Jibril kemudian datang dan menuntun Rasulullah untuk membaca kedua surat tersebut. Setiap kali satu ayat dari Al-Mu'awwidzatain dibacakan, satu simpul pada tali itu terlepas dengan sendirinya. Hingga ayat terakhir dibacakan, simpul kesebelas pun terlepas, dan seketika itu juga Rasulullah SAW merasa sehat dan segar kembali seolah-olah baru terbebas dari ikatan yang berat.
Kisah ini menjadi bukti terkuat bahwa Surat An-Nas (dan Al-Falaq) diturunkan di Madinah, karena Labid bin Al-A'sham dan interaksi dengan komunitas Yahudi merupakan bagian dari dinamika sosial politik yang terjadi di periode Madinah.
Tafsir Mendalam Surat An-Nas: Berlindung pada Tiga Sifat Agung
Terlepas dari perdebatan di mana ia diturunkan, pesan Surat An-Nas bersifat universal dan abadi. Surat ini adalah resep ilahi, sebuah formula perlindungan pamungkas dari musuh terbesar manusia: bisikan jahat yang merusak hati. Mari kita bedah makna setiap ayatnya.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Ayat 1: Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhannya manusia."
قُلْ (Qul - Katakanlah): Perintah langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW, dan melalui beliau kepada seluruh umatnya. Ini bukanlah sekadar bacaan, melainkan sebuah deklarasi, pengakuan lisan yang harus berakar di dalam hati. Perintah untuk "mengatakan" menunjukkan bahwa permohonan perlindungan ini adalah sebuah tindakan aktif, bukan pasif.
أَعُوذُ (A'uudzu - Aku berlindung): Kata ini berasal dari akar kata yang bermakna mencari suaka, perlindungan, dan penjagaan. Ini adalah pengakuan atas kelemahan diri dan pengakuan atas kekuatan absolut pihak yang dimintai perlindungan. Saat seseorang mengucapkan "A'uudzu", ia sedang menyingkirkan ego dan kesombongannya, lalu berlari menuju benteng pertahanan yang paling kokoh.
بِرَبِّ النَّاسِ (bi-Rabbin-naas - kepada Tuhannya manusia): Sifat pertama yang disebut adalah Rabb. Rabb bukanlah sekadar "Tuhan". Makna Rabb mencakup Pencipta (Al-Khaliq), Pemilik (Al-Malik), Pengatur (Al-Mudabbir), Pemberi rezeki (Ar-Razzaq), dan Pendidik (Al-Murabbi). Dengan berlindung kepada Rabb manusia, kita mengakui bahwa hanya Dia yang menciptakan kita, memelihara kita dari buaian hingga liang lahat, dan mengatur setiap detail kehidupan kita. Siapa lagi yang lebih pantas memberikan perlindungan selain Dia yang memelihara kita setiap saat?
مَلِكِ النَّاسِ
Ayat 2: "Rajanya manusia."
مَلِكِ النَّاسِ (Malikin-naas - Rajanya manusia): Setelah sifat Rububiyah (Ketuhanan dalam pemeliharaan), Allah menegaskan sifat Mulkiyah (Kerajaan). Jika Rabb adalah pemelihara yang penuh kasih, Malik adalah Raja yang memiliki kekuasaan dan kedaulatan absolut. Tidak ada satu pun manusia, sekuat dan sehebat apa pun dia, yang bisa lepas dari kerajaan-Nya. Para raja di dunia hanya berkuasa di wilayah terbatas dan waktu yang singkat, tetapi Allah adalah Raja abadi atas segala sesuatu. Dengan berlindung kepada Sang Raja, kita mencari proteksi dari kekuatan tertinggi yang tidak bisa ditandingi oleh kekuatan lain, baik yang terlihat maupun yang gaib.
إِلَٰهِ النَّاسِ
Ayat 3: "Sembahan manusia."
إِلَٰهِ النَّاسِ (Ilaahin-naas - Sembahan manusia): Ini adalah puncak dari pengakuan. Setelah mengakui Allah sebagai Pemelihara (Rabb) dan Raja (Malik), konsekuensi logisnya adalah mengakui-Nya sebagai satu-satunya Ilah, yaitu satu-satunya Dzat yang berhak disembah, dicintai, ditakuti, dan diharapkan secara mutlak. Sifat Uluhiyah ini adalah inti dari ajaran tauhid. Dengan berlindung kepada Ilah manusia, kita memurnikan niat kita, bahwa tujuan akhir dari permohonan perlindungan kita adalah untuk mengabdi kepada-Nya semata. Urutan tiga sifat ini (Rabb, Malik, Ilah) merupakan argumen tauhid yang sangat kuat dan komprehensif.
Mengapa tiga sifat ini disebut secara berurutan? Para ulama menjelaskan bahwa ini adalah tingkatan pengenalan. Manusia pertama kali mengenal Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara (Rabb). Ketika ia merenung lebih dalam, ia akan sadar bahwa Sang Pemelihara ini juga memiliki kekuasaan absolut (Malik). Dan puncak dari kesadaran itu adalah keyakinan bahwa hanya Dzat yang Maha Memelihara dan Maha Berkuasa inilah yang layak untuk menjadi tujuan ibadah (Ilah).
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
Ayat 4: "Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi."
Setelah menyebutkan kepada siapa kita berlindung, ayat ini menjelaskan dari apa kita berlindung. مِنْ شَرِّ (Min syarri - dari kejahatan): Kita memohon perlindungan dari sumber keburukan.
الْوَسْوَاسِ (Al-Waswaas - sang pembisik): Inilah musuh utamanya. Waswasah adalah bisikan yang sangat halus, berulang-ulang, dan tersembunyi. Ia tidak datang dalam bentuk teriakan, melainkan suara lirih di dalam hati yang menanamkan keraguan, was-was, ketakutan, kemalasan, kesombongan, dan keinginan untuk berbuat maksiat. Iblis disebut sebagai Al-Waswaas karena inilah metode utamanya dalam menyesatkan manusia.
الْخَنَّاسِ (Al-Khannaas - yang bersembunyi/mundur): Kata ini menggambarkan sifat licik dari sang pembisik. Khannas berarti ia yang bersembunyi atau menarik diri. Kapan ia menarik diri? Para ahli tafsir menjelaskan, setan akan membisikkan kejahatan ke dalam hati manusia. Namun, ketika manusia itu mengingat Allah (berdzikir), setan akan langsung mundur, menyelinap, dan bersembunyi. Ia kalah oleh dzikir. Tetapi, begitu manusia lalai dan lupa kepada Allah, setan akan kembali datang dan melancarkan bisikannya. Ini adalah gambaran peperangan spiritual yang terjadi setiap saat di dalam dada kita.
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
Ayat 5: "Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia."
Ayat ini menjelaskan "medan perang" dari bisikan tersebut. فِي صُدُورِ النَّاسِ (Fii shuduurin-naas - ke dalam dada manusia): Target utama dari bisikan ini adalah shadr (dada), yang merupakan tempat bersemayamnya qalb (hati). Hati adalah pusat kendali iman, niat, dan emosi. Jika hati berhasil dikotori oleh bisikan jahat, maka seluruh tindakan dan perkataan seseorang akan ikut terpengaruh. Serangan ini bersifat internal, langsung ke pusat komando spiritual manusia, membuatnya begitu berbahaya dan sulit dideteksi.
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
Ayat 6: "Dari (golongan) jin dan manusia."
Ini adalah ayat penutup yang sangat penting, yang memperluas cakupan perlindungan yang kita minta. Ayat ini menjelaskan bahwa sumber bisikan jahat (Al-Waswaas) itu bukan hanya satu, melainkan ada dua jenis.
مِنَ الْجِنَّةِ (Minal jinnati - dari golongan jin): Ini merujuk pada Iblis dan bala tentaranya dari bangsa jin. Mereka adalah musuh gaib yang membisikkan keburukan ke dalam hati manusia tanpa bisa kita lihat wujudnya.
وَالنَّاسِ (Wan-naas - dan manusia): Inilah yang sering dilupakan. Ternyata, "pembisik" itu juga bisa datang dari golongan manusia. Mereka adalah teman yang buruk, orang yang suka mengadu domba, penyebar fitnah, orang yang meragukan kita dari kebaikan, atau siapa pun yang dengan perkataan atau perbuatannya menanamkan keraguan, ketakutan, dan dorongan untuk berbuat maksiat di dalam hati kita. Bisikan dari manusia seringkali lebih berbahaya karena ia datang dari orang yang kita kenal, kita lihat, dan kita percayai.
Dengan demikian, Surat An-Nas mengajarkan kita untuk memohon perlindungan yang komprehensif. Kita berlindung kepada Rabb, Malik, dan Ilah seluruh manusia dari kejahatan bisikan yang menyelinap ke dalam hati, baik bisikan itu berasal dari setan golongan jin maupun dari setan berwujud manusia.
Kesimpulan: Pesan di Atas Perdebatan Lokasi
Kembali ke pertanyaan awal: Surat An-Nas diturunkan di kota mana? Berdasarkan kekuatan dalil, terutama riwayat Asbabun Nuzul tentang sihir Labid bin Al-A'sham, pendapat yang menyatakan Surat An-Nas adalah Madaniyah jauh lebih kuat dan dipegang oleh mayoritas ulama. Konteks peristiwa tersebut secara definitif menempatkan turunnya surat ini pada periode setelah hijrah Nabi ke Madinah.
Namun, yang lebih penting dari sekadar mengetahui lokasinya adalah meresapi pesan agung yang terkandung di dalamnya. Baik diturunkan di Mekkah maupun Madinah, Surat An-Nas adalah hadiah tak ternilai dari Allah. Ia adalah senjata bagi setiap mukmin untuk menghadapi perang abadi melawan musuh internal yang paling berbahaya: keraguan dan bisikan jahat.
Surat ini mengajarkan kita untuk tidak pernah merasa kuat dengan diri sendiri, melainkan untuk selalu lari mencari perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuat. Dengan mengakui-Nya sebagai Rabb, Malik, dan Ilah, kita membangun benteng tauhid yang kokoh, yang tidak akan mampu ditembus oleh bisikan setan dari golongan jin maupun manusia. Ia adalah surat penutup Al-Qur'an, yang seolah-olah menjadi pesan terakhir: setelah menerima seluruh petunjuk dari Al-Fatihah hingga Al-Falaq, maka jagalah petunjuk itu dengan berlindung kepada-Ku dari segala yang dapat merusaknya.