Memahami Urutan Wahyu: Surat An-Nas Diturunkan Setelah Surat Apa?
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah kalam Allah yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad ﷺ selama kurang lebih 23 tahun. Proses pewahyuan ini tidak mengikuti urutan surat sebagaimana yang kita kenal dalam mushaf Al-Qur'an saat ini. Ada urutan kronologis penurunan wahyu yang dikenal sebagai tartib nuzuli, dan ada pula urutan penulisan dalam mushaf yang disebut tartib usmani atau tartib tauqifi. Pemahaman mengenai kedua urutan ini menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar sejarah Al-Qur'an, termasuk pertanyaan sentral dalam artikel ini: surat An-Nas diturunkan setelah surat apa?
Surat An-Nas, surat ke-114 atau penutup dalam mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surat yang paling sering dibaca oleh umat Islam. Bersama Surat Al-Falaq, ia dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain, dua surat perlindungan. Namun, posisinya di akhir mushaf tidak mencerminkan urutan turunnya. Mengetahui kronologi pewahyuannya akan membuka wawasan lebih dalam mengenai konteks, sebab turun (asbabun nuzul), dan hikmah di balik surat agung ini.
Jawaban Langsung: Setelah Surat Al-Falaq
Berdasarkan pendapat mayoritas ulama tafsir dan hadis, Surat An-Nas diturunkan setelah Surat Al-Falaq. Keduanya diturunkan secara bersamaan atau dalam waktu yang sangat berdekatan di Madinah. Inilah sebabnya mereka hampir selalu dibahas bersamaan dan digelari Al-Mu'awwidzatain, yang berarti "dua surat permohonan perlindungan".
Menurut urutan kronologis (tartib nuzuli) yang disusun oleh para ulama berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, Surat Al-Falaq menempati urutan ke-20 dan Surat An-Nas menempati urutan ke-21 dalam daftar surat yang diwahyukan. Ini menempatkan keduanya dalam periode Madaniyah, yaitu periode setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Mekkah ke Madinah. Statusnya sebagai surat Madaniyah ini penting karena berkaitan erat dengan sebab turunnya yang sangat spesifik dan terkenal.
Penting untuk dibedakan dengan posisinya dalam mushaf. Dalam mushaf Al-Qur'an, Surat Al-Falaq adalah surat ke-113 dan An-Nas adalah surat ke-114. Urutan ini bukanlah hasil ijtihad para sahabat, melainkan berdasarkan petunjuk langsung dari Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang kemudian diajarkan kepada para sahabat. Urutan ini bersifat tauqifi (ketetapan dari Allah) dan memiliki hikmahnya tersendiri, yaitu Al-Qur'an dimulai dengan pujian kepada Allah (Al-Fatihah) dan diakhiri dengan permohonan perlindungan kepada-Nya (An-Nas), merangkum seluruh perjalanan spiritual seorang hamba.
Kisah di Balik Wahyu: Asbabun Nuzul Al-Mu'awwidzatain
Untuk memahami mengapa Surat An-Nas diturunkan setelah Surat Al-Falaq, kita harus menelusuri kisah yang menjadi latar belakang pewahyuannya. Kisah ini adalah salah satu peristiwa penting dalam sirah nabawiyah yang menunjukkan betapa Al-Qur'an bukan sekadar bacaan, melainkan juga solusi dan penyembuh dari segala macam keburukan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Peristiwa Sihir yang Menimpa Rasulullah ﷺ
Diriwayatkan dalam hadis shahih yang terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah ﷺ pernah terkena sihir. Pelakunya adalah seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid bin al-A'sam. Orang ini menggunakan media sihir yang sangat menjijikkan untuk mencelakai Nabi.
Labid mengambil beberapa helai rambut Nabi ﷺ yang rontok saat bersisir, kemudian membuat sebelas ikatan atau buhul pada seutas tali. Setiap ikatan ditiup dengan mantera sihir. Media sihir ini (rambut, tali berbuhul, dan sebuah sisir) kemudian diletakkan di dalam mayang kurma jantan dan disembunyikan di dasar sumur tua bernama Dzarwan.
Akibat sihir ini, Rasulullah ﷺ merasakan dampak yang berat. Beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Dalam riwayat lain disebutkan beliau merasa lesu, tidak nafsu makan, dan dalam kondisi fisik yang lemah. Hal ini berlangsung selama beberapa waktu. Penting untuk dicatat bahwa sihir ini hanya memengaruhi aspek fisik dan duniawi beliau, tidak pernah memengaruhi wahyu, tugas kenabian, atau kejernihan akal beliau dalam menyampaikan risalah Allah. Ini adalah ujian dari Allah untuk menunjukkan kepada umat manusia bahwa sihir itu nyata dan bagaimana cara melawannya dengan petunjuk ilahi.
Turunnya Pertolongan dari Langit
Di tengah kondisi tersebut, suatu malam ketika beliau sedang tidur (atau dalam keadaan antara tidur dan terjaga), beliau berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Tiba-tiba, datanglah dua malaikat dalam wujud dua orang pria. Salah satunya duduk di dekat kepala beliau, dan yang lain di dekat kaki beliau.
Kedua malaikat itu bercakap-cakap. Salah satu bertanya, "Apa yang diderita orang ini?"
Yang lain menjawab, "Dia terkena sihir (matbub)."
"Siapa yang menyihirnya?"
"Labid bin al-A'sam, seorang Yahudi."
"Dengan media apa sihir itu dibuat?"
"Dengan sebuah sisir, rontokan rambut, dan mayang kurma jantan."
"Di mana benda itu sekarang?"
"Di sumur Dzarwan."
Setelah mendapatkan petunjuk ini, Rasulullah ﷺ bangun dan segera mengutus beberapa sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Ammar bin Yasir, untuk pergi ke sumur tersebut. Para sahabat menemukan sumur itu dengan air yang telah berubah warna seperti rendaman daun pacar dan pohon-pohon kurma di sekitarnya tampak layu seperti kepala setan. Mereka kemudian menimba air sumur itu hingga kering dan mengangkat batu di dasarnya. Di bawah batu itulah mereka menemukan mayang kurma berisi media sihir tersebut.
Benda itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ. Saat itulah, Malaikat Jibril turun membawa wahyu dari Allah, yaitu dua surat sekaligus: Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas, yang total berjumlah sebelas ayat. Jibril memerintahkan Nabi ﷺ untuk membacanya. Setiap kali satu ayat dari kedua surat ini dibacakan, terurailah satu dari sebelas buhul atau ikatan sihir tersebut. Ketika ayat terakhir selesai dibacakan dan buhul terakhir terlepas, seketika Rasulullah ﷺ merasa segar dan sehat kembali, seolah-olah baru terlepas dari sebuah ikatan yang kuat.
Kisah ini dengan jelas menunjukkan bahwa Surat Al-Falaq dan An-Nas diturunkan dalam satu paket pertolongan dari Allah. Keduanya saling melengkapi untuk membatalkan kejahatan sihir dan memberikan perlindungan total. Karena itu, sangat logis jika urutan turunnya pun berurutan, An-Nas turun tepat setelah Al-Falaq sebagai bagian dari satu peristiwa wahyu yang sama.
Analisis Mendalam Tafsir Surat An-Nas: Benteng dari Musuh Tersembunyi
Untuk mengapresiasi sepenuhnya mengapa surat ini menjadi penutup Al-Qur'an dan perlindungan pamungkas, kita perlu menyelami makna setiap ayatnya. Surat An-Nas secara khusus meminta perlindungan dari musuh internal yang paling berbahaya: bisikan (waswas) dari setan, baik dari golongan jin maupun manusia.
Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
"Katakanlah: 'Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia'."
Perintah "Qul" (Katakanlah) adalah instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ dan seluruh umatnya. Ini menunjukkan bahwa permohonan perlindungan ini bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan harus diucapkan, diikrarkan dengan lisan, dan diyakini dengan hati. Ini adalah sebuah tindakan aktif.
"A'uudzu" (Aku berlindung) berasal dari kata yang bermakna mencari suaka, penjagaan, dan benteng dari sesuatu yang ditakuti. Ini adalah pengakuan total atas kelemahan diri dan pengakuan atas kekuatan absolut pihak yang dimintai perlindungan.
"bi-Rabbin-Naas" (kepada Tuhan manusia). Allah memulai dengan menyebut sifat Rububiyyah-Nya. Rabb berarti Tuhan yang menciptakan, memelihara, mengatur, memiliki, dan mendidik. Dengan menyebut "Rabb Manusia", kita diingatkan bahwa Allah-lah yang menciptakan kita, mengetahui setiap seluk-beluk kelemahan kita, dan hanya Dia yang mampu memelihara kita dari segala keburukan. Ini adalah permohonan kepada Sang Pencipta untuk melindungi ciptaan-Nya.
Ayat 2: مَلِكِ النَّاسِ
مَلِكِ النَّاسِ
"Raja Manusia."
Setelah menyebut sifat-Nya sebagai Rabb (Pemelihara), Allah menyebut sifat-Nya sebagai "Malikin-Naas" (Raja Manusia). Ini adalah tingkatan perlindungan yang lebih tinggi. Jika Rabb berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan, Malik (Raja) berkaitan dengan kekuasaan, kedaulatan, dan otoritas mutlak. Seorang raja memiliki kuasa penuh atas kerajaannya dan rakyatnya. Tidak ada yang bisa berbuat semaunya di dalam kerajaan tersebut tanpa izin sang raja.
Dengan berlindung kepada Raja Manusia, kita seolah berkata, "Ya Allah, Engkaulah Penguasa absolut atas diriku dan atas segala sesuatu yang mencoba menggangguku. Musuhku, yaitu setan, juga berada di bawah kekuasaan-Mu. Maka, lindungilah aku, rakyat-Mu yang lemah ini, dari gangguan makhluk lain di dalam kerajaan-Mu." Ini memberikan ketenangan luar biasa, karena kita berlindung kepada Dzat yang memegang kendali atas segalanya.
Ayat 3: إِلَٰهِ النَّاسِ
إِلَٰهِ النَّاسِ
"Sembahan Manusia."
Ini adalah puncak dari penyebutan sifat Allah. Setelah Rububiyyah (Tuhan Pemelihara) dan Mulk (Kekuasaan Raja), Allah menyebut sifat Uluhiyyah-Nya melalui "Ilaahin-Naas" (Sembahan Manusia). Ilah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah, dicintai, ditaati, dan menjadi tujuan akhir dari segala perbuatan.
Mengapa ini menjadi puncak perlindungan? Karena target utama dari bisikan setan adalah merusak hubungan seorang hamba dengan Ilah-nya. Setan ingin manusia menyembah selain Allah, baik itu hawa nafsu, materi, maupun makhluk lainnya. Dengan berlindung kepada "Sembahan Manusia", kita memohon agar Allah menjaga esensi tauhid kita, menjaga hati kita agar tidak berpaling dari-Nya. Ini adalah permohonan untuk dilindungi pada level spiritual yang paling fundamental. Urutan Rabb, Malik, dan Ilah ini adalah sebuah progresi yang indah, mencakup seluruh aspek hubungan manusia dengan Tuhannya: sebagai ciptaan, sebagai rakyat, dan sebagai penyembah.
Ayat 4: مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
"Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,"
Setelah menyebut kepada siapa kita berlindung dengan tiga sifat-Nya yang agung, ayat ini menjelaskan dari apa kita berlindung. Kita berlindung dari "Syarri" (kejahatan) dari "Al-Waswaas" (pembisik) dan "Al-Khannaas" (yang bersembunyi).
Al-Waswaas adalah bentuk superlatif yang berarti "pembisik yang terus-menerus dan sangat ahli". Ini menggambarkan sifat dasar setan yang tidak pernah lelah. Bisikannya halus, samar, dan berulang-ulang, menyusup ke dalam hati tanpa disadari. Ia tidak datang dengan kejahatan yang terang-terangan, melainkan dengan keraguan, was-was, angan-angan buruk, dan menunda-nunda kebaikan.
Al-Khannaas adalah sifat yang sangat menarik. Kata ini berarti "dia yang mundur dan bersembunyi". Ini adalah strategi licik setan. Ketika seorang hamba lalai dan lupa kepada Allah, setan (Al-Waswaas) akan datang membisikkan kejahatan. Namun, ketika hamba itu sadar dan segera berdzikir menyebut nama Allah (misalnya dengan membaca ta'awwudz), setan itu akan langsung mundur, menyelinap, dan bersembunyi (menjadi Al-Khannaas), menunggu kesempatan lain saat hamba itu lengah kembali. Ini mengajarkan kita bahwa senjata paling ampuh melawan bisikan setan adalah dengan senantiasa mengingat Allah.
Ayat 5: الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
"Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,"
Ayat ini menjelaskan "lokasi" serangan Al-Waswas. Ia membisikkan kejahatan "fii shuduurin-naas" (di dalam dada-dada manusia). Kata "shudur" (jamak dari shadr) secara harfiah berarti dada, namun secara kiasan merujuk pada pusat perasaan, niat, dan akal, yaitu hati (qalb). Ini menunjukkan bahwa serangan setan bersifat internal. Ia tidak bisa memaksa fisik kita, tetapi ia menyerang pusat komando kita: hati dan pikiran. Jika hati berhasil dikuasai, maka seluruh anggota tubuh akan mengikutinya.
Inilah yang membuat musuh ini sangat berbahaya. Ia tidak terlihat, tidak terdengar oleh telinga, dan serangannya terjadi di dalam benteng pertahanan kita sendiri. Oleh karena itu, kita memerlukan perlindungan dari Dzat yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada, yaitu Allah SWT.
Ayat 6: مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
"Dari (golongan) jin dan manusia."
Ayat penutup ini memberikan klarifikasi yang sangat penting. Ternyata, "Al-Waswaas Al-Khannaas" (pembisik yang bersembunyi) itu bukan hanya dari golongan jin (setan yang kita kenal), tetapi juga bisa berasal "minal jinnati wan-naas" (dari jin dan manusia).
Pembisik dari golongan jin adalah Iblis dan bala tentaranya yang membisikkan kejahatan secara gaib ke dalam hati kita. Ini adalah musuh yang tidak terlihat.
Pembisik dari golongan manusia adalah musuh yang terlihat. Mereka adalah teman yang buruk, orang-orang yang mengajak kepada kemaksiatan, menyebarkan keraguan, menghasut, memfitnah, atau memberikan nasihat palsu yang dibungkus dengan kebaikan. Mereka membisikkan ide-ide buruk melalui ucapan, tulisan, atau teladan yang jelek. Cara kerja mereka sama seperti setan dari golongan jin: mereka mendekat saat kita lengah dan menjauh jika kita menunjukkan keteguhan iman. Surat An-Nas mengajarkan kita untuk waspada terhadap kedua jenis pembisik ini.
Relasi Surat An-Nas dan Al-Falaq: Perlindungan Komprehensif
Memahami bahwa Surat An-Nas diturunkan setelah Surat Al-Falaq menjadi lebih bermakna ketika kita melihat bagaimana keduanya saling melengkapi. Keduanya adalah doa perlindungan, namun dengan fokus yang berbeda.
- Surat Al-Falaq: Meminta perlindungan dari kejahatan-kejahatan eksternal.
- Kejahatan makhluk secara umum (min syarri maa khalaq).
- Kejahatan malam apabila telah gelap gulita (min syarri ghaasiqin idzaa waqab).
- Kejahatan para penyihir (min syarrin-naffaatsaati fil-'uqad).
- Kejahatan orang yang dengki (min syarri haasidin idzaa hasad).
- Surat An-Nas: Meminta perlindungan dari satu jenis kejahatan internal yang menjadi sumber dari segala kejahatan lainnya.
- Kejahatan bisikan setan yang bersembunyi (min syarril-waswaasil-khannaas).
Bisa dikatakan, Surat Al-Falaq adalah perisai dari serangan luar, sedangkan Surat An-Nas adalah benteng dari musuh dalam selimut. Kejahatan eksternal seperti sihir dan dengki seringkali bermula dari bisikan internal di dalam hati pelakunya. Seseorang tidak akan menyihir atau mendengki jika hatinya tidak terlebih dahulu diracuni oleh bisikan setan. Oleh karena itu, berlindung dari sumbernya (bisikan) adalah bentuk perlindungan yang lebih mendasar dan utama. Inilah mungkin hikmah mengapa Surat An-Nas diletakkan setelah Al-Falaq, baik dalam urutan turun maupun urutan mushaf: sebagai penutup dan penyempurna benteng pertahanan seorang mukmin.
Keutamaan dan Praktik Membaca Surat An-Nas
Rasulullah ﷺ sangat menekankan pentingnya membaca Al-Mu'awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) bersama Surat Al-Ikhlas dalam berbagai kesempatan sebagai bagian dari dzikir dan amalan harian.
- Dzikir Pagi dan Petang: Dianjurkan membacanya masing-masing tiga kali pada waktu pagi setelah Subuh dan petang setelah Ashar. Rasulullah ﷺ bersabda, "Bacalah 'Qul Huwallahu Ahad' (Al-Ikhlas) dan Al-Mu'awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) di waktu pagi dan sore hari sebanyak tiga kali, maka itu mencukupimu dari segala sesuatu." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
- Sebelum Tidur: Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa setiap malam sebelum tidur, Rasulullah ﷺ akan menangkupkan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan padanya Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuh. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari).
- Setelah Shalat Fardhu: Dari Uqbah bin Amir, ia berkata, "Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk membaca Al-Mu'awwidzat (Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas) setiap selesai shalat." (HR. Abu Daud).
- Sebagai Ruqyah (Penyembuhan): Sebagaimana dalam kisah asbabun nuzul-nya, kedua surat ini adalah bacaan ruqyah yang paling utama untuk mengobati penyakit akibat sihir, 'ain (mata jahat), dan gangguan jin. Juga untuk penyembuhan penyakit fisik secara umum dengan memohon kesembuhan dari Allah.
Kesimpulan
Pertanyaan "surat An-Nas diturunkan setelah surat apa?" membawa kita pada sebuah perjalanan mendalam untuk memahami sejarah, makna, dan hikmah di balik surat penutup Al-Qur'an ini. Jawabannya adalah, Surat An-Nas diturunkan setelah Surat Al-Falaq, dan keduanya turun bersamaan atau berurutan sebagai satu kesatuan respons ilahi terhadap kejahatan sihir yang menimpa Rasulullah ﷺ.
Urutan ini menegaskan hubungan erat antara keduanya sebagai Al-Mu'awwidzatain, dua pilar perlindungan bagi seorang Muslim. Al-Falaq melindungi dari ancaman-ancaman eksternal yang nyata, sementara An-Nas melindungi dari musuh internal yang tak terlihat namun paling berbahaya, yaitu bisikan setan dari golongan jin dan manusia yang menyerang benteng hati.
Dengan memahami tafsirnya ayat per ayat, kita belajar untuk memohon perlindungan kepada Allah dengan menyebut sifat-sifat-Nya yang paling relevan: sebagai Rabb yang memelihara, Malik yang berkuasa mutlak, dan Ilah yang menjadi satu-satunya tujuan ibadah. Pada akhirnya, Surat An-Nas bukan sekadar surat terakhir dalam mushaf, melainkan sebuah pengingat abadi bahwa perjalanan hidup seorang hamba, dari awal hingga akhir, senantiasa membutuhkan penjagaan dan perlindungan total dari Tuhannya dari musuh yang tak pernah lelah menyesatkan. Mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah wujud kesadaran kita akan kelemahan diri dan kebergantungan mutlak kepada kekuatan Allah SWT.