Surat An-Nas: Misteri Urutan Wahyu dan Perisai Pelindung Umat Manusia

Surat An-Nas, surat ke-114 dan penutup dalam mushaf Al-Qur'an, merupakan salah satu surat yang paling dikenal dan dihafal oleh umat Islam di seluruh dunia. Bersama dengan Surat Al-Falaq, ia membentuk Al-Mu'awwidhatayn—dua surat perlindungan yang menjadi benteng spiritual bagi seorang mukmin. Namun, di balik posisinya sebagai pamungkas dalam susunan Al-Qur'an, tersimpan sebuah pertanyaan menarik yang sering kali luput dari perhatian: kapan sebenarnya surat ini diturunkan? Pertanyaan "surat an nas diturunkan sesudah surat apa?" bukanlah sekadar persoalan urutan kronologis, melainkan sebuah pintu untuk memahami konteks, kedalaman makna, dan hikmah agung di balik pewahyuannya.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Surat An-Nas, dari tafsir mendalam setiap ayatnya, menelusuri sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul), hingga menjawab secara komprehensif pertanyaan mengenai posisinya dalam tartib nuzuli (urutan pewahyuan). Kita akan menyelami lautan ilmu Al-Qur'an untuk menemukan bagaimana surat yang singkat ini menjadi perisai utama dari godaan terbesar yang mengancam hati manusia.

Membedah Makna Surat An-Nas: Perlindungan dari Tiga Sifat Ilahi

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengetahui kapan ia diturunkan, sangat penting untuk meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Surat An-Nas adalah sebuah deklarasi permohonan perlindungan yang diajarkan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya. Mari kita telaah ayat demi ayat.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ (١)
مَلِكِ النَّاسِۙ (٢)
اِلٰهِ النَّاسِۙ (٣)
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ (٤)
الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ (٥)
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (٦)

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,
2. Raja manusia,
3. Sembahan manusia,
4. dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi,
5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. dari (golongan) jin dan manusia."

Tafsir Ayat 1-3: Tiga Pilar Kekuasaan Allah

Surat ini dibuka dengan perintah "Qul" (Katakanlah), yang menandakan bahwa ini adalah ajaran langsung dari Allah yang harus diucapkan dan diyakini oleh lisan dan hati. Permohonan perlindungan ini ditujukan kepada Allah dengan menyebut tiga sifat-Nya yang Agung secara berurutan:

  • Rabbin-nās (Tuhan Manusia): Sifat pertama adalah Rububiyyah, yaitu sifat Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Pendidik seluruh manusia. Dengan menyebut "Rabb," kita mengakui bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas eksistensi kita, dari awal hingga akhir. Ini adalah pengakuan atas ketergantungan total kita kepada-Nya, seperti seorang anak yang berlindung kepada ibunya yang merawatnya.
  • Malikin-nās (Raja Manusia): Sifat kedua adalah Mulkiyyah, yaitu Allah sebagai Raja yang memiliki kedaulatan mutlak. Jika "Rabb" berbicara tentang pemeliharaan, "Malik" berbicara tentang kekuasaan dan hukum. Seorang raja memiliki wewenang untuk memerintah, melarang, dan menghukum. Dengan berlindung kepada "Raja Manusia," kita mengakui bahwa tidak ada kekuasaan lain yang dapat melindungi kita selain kekuasaan-Nya. Semua raja dan penguasa di dunia berada di bawah kekuasaan-Nya.
  • Ilāhin-nās (Sembahan Manusia): Sifat ketiga adalah Uluhiyyah, yaitu Allah sebagai satu-satunya Ilah (Sembahan) yang berhak diibadahi. Ini adalah puncak dari pengakuan tauhid. Setelah mengakui Dia sebagai Pemelihara dan Raja, kita menegaskan bahwa hanya Dia yang layak menjadi tujuan dari segala bentuk ibadah, cinta, dan ketundukan. Berlindung kepada "Sembahan Manusia" berarti kita menyerahkan seluruh jiwa raga kita kepada-Nya, karena Dialah tujuan akhir kehidupan.

Urutan tiga sifat ini sangat indah dan kuat. Ia membangun sebuah benteng perlindungan yang kokoh. Kita berlindung kepada Sang Pemelihara, yang juga merupakan Sang Penguasa Absolut, dan yang pada akhirnya adalah satu-satunya Sembahan yang hakiki. Tidak ada celah bagi kejahatan untuk menembus pertahanan yang dibangun di atas tiga pilar tauhid ini.

An-Nas Rabb Malik Ilah

Ilustrasi simbolis Surat An-Nas sebagai perisai pelindung yang kokoh.

Tafsir Ayat 4-6: Mengidentifikasi Musuh yang Tersembunyi

Setelah memohon perlindungan kepada Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, surat ini kemudian menjelaskan secara spesifik dari kejahatan apa kita berlindung.

  • Min syarril-waswāsil-khannās (dari kejahatan bisikan yang bersembunyi): Di sinilah musuh utama diperkenalkan. Ia bukan musuh fisik yang terlihat, melainkan musuh yang beroperasi di alam gaib dan psikologis.
    • Al-Waswās: Ini bukan sekadar "bisikan", melainkan "Sang Pembisik" yang terus-menerus dan berulang-ulang. Kata ini memberikan kesan adanya kegigihan dan keseriusan dari sang pembisik untuk menyesatkan manusia.
    • Al-Khannās: Kata ini berasal dari akar kata khanasa yang berarti 'mundur', 'bersembunyi', atau 'menyelinap pergi'. Sifat ini menggambarkan taktik setan yang licik. Ketika seorang hamba mengingat Allah (berdzikir), setan akan mundur dan bersembunyi. Namun, ketika sang hamba lalai, ia akan kembali datang untuk membisikkan kejahatan. Ia adalah musuh pengecut yang menyerang saat kita lengah.
  • Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās (yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia): Ayat ini menjelaskan medan pertempuran utama, yaitu di dalam shudur (dada), yang merupakan wadah bagi hati (qalb). Bisikan itu tidak masuk melalui telinga, melainkan langsung menyasar pusat kendali emosi, niat, dan keyakinan manusia. Inilah yang membuat godaan ini begitu berbahaya, karena ia terasa seperti berasal dari pikiran kita sendiri, padahal ia adalah infiltrasi dari luar.
  • Minal-jinnati wan-nās (dari golongan jin dan manusia): Ini adalah penutup yang sangat penting dan seringkali kurang direnungkan. Ayat ini menegaskan bahwa "Sang Pembisik" itu tidak hanya berasal dari kalangan jin (setan), tetapi juga bisa berasal dari kalangan manusia. Teman yang buruk, media yang menyesatkan, atau bahkan pemikiran-pemikiran destruktif yang disebarkan dalam masyarakat, semuanya bisa menjadi perpanjangan tangan dari "waswas" ini. Allah mengajarkan kita untuk waspada terhadap pengaruh negatif dari lingkungan sekitar kita, bukan hanya dari godaan gaib.

Asbabun Nuzul: Kisah di Balik Turunnya Sang Penyembuh

Pemahaman tentang konteks turunnya sebuah surat (asbabun nuzul) sering kali membuka lapisan makna yang lebih dalam. Untuk Surat An-Nas dan Al-Falaq, asbabun nuzulnya sangat dramatis dan menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya.

Menurut riwayat yang shahih dari berbagai jalur, kedua surat ini diturunkan di Madinah setelah Rasulullah ﷺ jatuh sakit akibat sihir yang dikirimkan oleh seorang Yahudi bernama Labid bin al-A'sam. Orang ini menggunakan media berupa beberapa helai rambut Nabi yang jatuh saat bersisir, sebuah sisir, dan seludang mayang kurma jantan. Ia membuat sebelas ikatan atau simpul pada media tersebut, lalu menancapkan jarum-jarum padanya, dan menyembunyikannya di dalam sumur tua bernama Dzarwan.

Akibat sihir ini, Rasulullah ﷺ mengalami sakit yang cukup berat. Beliau merasa lesu dan terkadang merasa telah melakukan sesuatu padahal belum melakukannya. Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu hingga suatu malam, saat beliau sedang tidur, datanglah dua malaikat (dalam riwayat disebut Jibril dan Mikail). Satu duduk di dekat kepala beliau dan satu lagi di dekat kaki beliau. Mereka berdialog, memberitahukan bahwa beliau sedang terkena sihir, siapa yang melakukannya, media apa yang digunakan, dan di mana media sihir itu disembunyikan.

Keesokan harinya, Rasulullah ﷺ mengutus beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk pergi ke sumur tersebut. Mereka menemukan bungkusan sihir itu persis seperti yang digambarkan oleh malaikat. Bungkusan itu kemudian dibawa ke hadapan Nabi ﷺ.

Pada saat itulah, Allah menurunkan Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas. Kedua surat ini total memiliki sebelas ayat (5 ayat Al-Falaq dan 6 ayat An-Nas), sesuai dengan jumlah simpul sihir. Jibril kemudian membimbing Rasulullah ﷺ untuk membaca kedua surat tersebut. Setiap kali satu ayat dibacakan, satu simpul sihir terlepas. Setelah ayat kesebelas selesai dibacakan dan simpul terakhir terlepas, Rasulullah ﷺ seketika merasa sehat dan segar seolah-olah baru terbebas dari ikatan yang kuat.

Kisah ini menegaskan beberapa hal penting:

  1. Status Madaniyah: Kejadian ini terjadi di Madinah, yang dengan kuat mengindikasikan bahwa Surat An-Nas (dan Al-Falaq) adalah surat Madaniyah, yaitu surat yang diturunkan setelah hijrah.
  2. Fungsi sebagai Ruqyah: Surat ini secara langsung berfungsi sebagai obat dan penawar (ruqyah syar'iyyah) dari kejahatan sihir dan penyakit.
  3. Perlindungan Universal: Meskipun turun karena insiden spesifik, ajarannya bersifat universal. Ia mengajarkan seluruh umat Islam cara berlindung dari segala bentuk kejahatan tersembunyi, baik sihir, bisikan setan, maupun pengaruh buruk dari sesama manusia.

Menjawab Pertanyaan Utama: Surat An Nas Diturunkan Sesudah Surat Apa?

Kini kita tiba pada inti pembahasan. Untuk menjawab pertanyaan ini secara akurat, kita harus memahami perbedaan mendasar antara dua jenis urutan dalam Al-Qur'an:

  • Tartib Mushafi (Urutan dalam Mushaf): Ini adalah urutan surat sebagaimana yang kita kenal sekarang, dari Al-Fatihah (1) hingga An-Nas (114). Urutan ini bersifat tauqifi, artinya ditetapkan berdasarkan petunjuk langsung dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ.
  • Tartib Nuzuli (Urutan Pewahyuan): Ini adalah urutan kronologis turunnya surat kepada Nabi Muhammad ﷺ selama kurang lebih 23 tahun masa kenabiannya. Urutan ini tidak sama dengan urutan dalam mushaf. Contoh paling jelas, surat yang pertama kali turun adalah Al-'Alaq ayat 1-5, namun dalam mushaf ia berada di urutan ke-96.

Pertanyaan "surat an nas diturunkan sesudah surat apa?" mengacu pada Tartib Nuzuli. Berdasarkan kisah asbabun nuzul yang telah dipaparkan, para ulama mayoritas sepakat bahwa Surat An-Nas adalah surat Madaniyah yang turun bersamaan dengan Surat Al-Falaq.

Meskipun berada di akhir mushaf, Surat An-Nas bukanlah wahyu terakhir yang diturunkan. Wahyu terakhir yang turun menurut pendapat terkuat adalah Surat An-Nasr ("Idza ja'a nashrullahi wal fath...") atau ayat tertentu seperti ayat 281 dari Surat Al-Baqarah.

Lalu, jika ia turun di Madinah, surat apa yang turun sebelumnya? Para ulama telah berusaha merekonstruksi urutan kronologis wahyu berdasarkan riwayat-riwayat yang ada. Meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam beberapa daftar, ada konsensus umum mengenai urutan sebagian besar surat. Dalam banyak daftar kronologis yang diakui, seperti yang didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas R.A., urutan turunnya Al-Mu'awwidhatayn (Al-Falaq dan An-Nas) ditempatkan pada periode Madinah.

Menurut beberapa urutan yang populer di kalangan ahli tafsir dan ulumul Qur'an, Surat An-Nas dan Al-Falaq diturunkan sesudah Surat Al-Ikhlas. Ini adalah pendapat yang sangat kuat dan memiliki keserasian makna yang luar biasa.

Korelasi Erat dengan Surat Al-Ikhlas

Jika kita menerima pendapat bahwa Surat An-Nas (dan Al-Falaq) turun setelah Surat Al-Ikhlas, kita akan menemukan sebuah trilogi tauhid dan perlindungan yang sempurna:

  1. Surat Al-Ikhlas (Tauhid): Pertama, seorang hamba menetapkan fondasi akidahnya. Ia mengikrarkan kemurnian tauhid, bahwa Allah itu Esa (Ahad), tempat bergantung segala sesuatu (As-Shamad), tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Ini adalah deklarasi tentang siapa Allah.
  2. Surat Al-Falaq (Perlindungan dari Kejahatan Eksternal): Setelah mengenal keagungan Allah melalui Al-Ikhlas, langkah selanjutnya adalah memohon perlindungan kepada-Nya dari berbagai kejahatan yang datang dari luar diri: kegelapan malam, sihir, dan kedengkian.
  3. Surat An-Nas (Perlindungan dari Kejahatan Internal): Puncak dari permohonan perlindungan adalah meminta proteksi dari musuh yang paling berbahaya, yaitu musuh dari dalam: bisikan setan yang menyelinap ke dalam dada. Musuh ini lebih berbahaya karena ia menyerang benteng iman dari dalam. Oleh karena itu, dalam Surat An-Nas, kita berlindung dengan menyebut tiga sifat Allah sekaligus (Rabb, Malik, Ilah), menunjukkan betapa seriusnya ancaman internal ini.

Rangkaian Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas ini menjadi paket lengkap bagi seorang mukmin. Ia memantapkan tauhidnya, lalu membentengi dirinya dari ancaman luar dan dalam. Inilah mengapa Rasulullah ﷺ sangat menganjurkan untuk membaca ketiga surat ini secara rutin, seperti sebelum tidur dan setelah shalat fardhu.

Adakah Pendapat Lain?

Sebagaimana dalam banyak bidang ilmu keislaman, terdapat pula pandangan lain. Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa Surat An-Nas adalah surat Makkiyah (turun di Mekkah). Argumen mereka biasanya didasarkan pada tema surat yang bersifat umum dan tidak terikat pada satu peristiwa saja. Menurut mereka, perlindungan dari bisikan setan adalah kebutuhan mendasar sejak awal dakwah Islam. Namun, riwayat tentang sihir di Madinah sangat kuat dan menjadi pegangan mayoritas ulama, sehingga mengklasifikasikannya sebagai surat Madaniyah adalah pendapat yang paling rajih (kuat).

Kesimpulannya, jawaban yang paling kuat dan diterima secara luas untuk pertanyaan "surat an nas diturunkan sesudah surat apa?" adalah ia diturunkan bersamaan dengan Surat Al-Falaq pada periode Madinah, dan dalam banyak susunan kronologis, keduanya ditempatkan setelah turunnya Surat Al-Ikhlas.

Keutamaan Al-Mu'awwidhatayn: Perisai Harian Seorang Mukmin

Rasulullah ﷺ memberikan perhatian khusus pada Surat An-Nas dan Al-Falaq. Beliau menyebut keduanya sebagai Al-Mu'awwidhatayn (dua surat perlindungan) dan menganjurkan umatnya untuk menjadikannya sebagai wirid harian. Berikut adalah beberapa keutamaannya yang disebutkan dalam hadits:

  • Perlindungan Terbaik: Dari Uqbah bin Amir R.A., ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidakkah kamu melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Belum pernah ada yang semisal dengannya, yaitu Qul A'udzu bi Rabbil Falaq dan Qul A'udzu bi Rabbin Nas." (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa kedua surat ini adalah formula perlindungan terbaik yang pernah ada.
  • Dibaca Setelah Shalat Fardhu: Rasulullah ﷺ memerintahkan Uqbah bin Amir R.A. untuk membaca Al-Mu'awwidhatayn setiap selesai shalat. (HR. Abu Daud). Ini menjadikannya bagian dari dzikir setelah shalat yang sangat dianjurkan.
  • Dibaca Sebelum Tidur: Aisyah R.A. meriwayatkan bahwa setiap malam menjelang tidur, Rasulullah ﷺ akan menangkupkan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan padanya Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh yang dapat dijangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuh. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari).
  • Sebagai Ruqyah (Penyembuhan): Sebagaimana dalam kisah asbabun nuzulnya, kedua surat ini adalah ruqyah yang paling efektif untuk melindungi diri dari sihir, 'ain (pandangan mata jahat), dan gangguan jin. Aisyah R.A. juga melaporkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ sakit, beliau akan membaca Al-Mu'awwidhatayn untuk dirinya sendiri dan meniupkannya. Ketika sakitnya parah, Aisyah yang membacakannya lalu mengusapkan tangan Nabi ﷺ ke tubuhnya dengan harapan mendapat keberkahannya.
  • Bagian dari Dzikir Pagi dan Petang: Membaca tiga surat ini (Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas) masing-masing tiga kali pada waktu pagi dan petang akan memberikan perlindungan yang mencukupi bagi seseorang dari segala sesuatu yang buruk pada hari atau malam itu. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nas

Surat An-Nas, meskipun singkat, mengandung pelajaran hidup yang sangat mendalam dan relevan sepanjang zaman. Ia bukan sekadar bacaan ritual, melainkan panduan praktis dalam peperangan spiritual yang dihadapi setiap manusia.

  1. Pengakuan Kelemahan dan Ketergantungan: Langkah pertama untuk mendapatkan perlindungan adalah mengakui bahwa kita lemah dan tidak berdaya tanpa pertolongan Allah. Perintah "Qul a'udzu" (Katakanlah, aku berlindung) adalah pelajaran kerendahan hati.
  2. Mengenali Musuh Sejati: Surat ini mengarahkan fokus kita pada musuh yang paling berbahaya, yaitu bisikan internal yang merusak niat, menimbulkan keraguan, waswas, dan mengajak pada kemaksiatan. Seringkali kita sibuk dengan musuh yang terlihat, namun lalai pada musuh yang bersembunyi di dalam dada.
  3. Waspada Terhadap Lingkungan: Penegasan bahwa pembisik kejahatan bisa datang dari "jin dan manusia" adalah pengingat keras untuk selektif dalam memilih teman dan lingkungan. Pengaruh buruk dari manusia bisa sama merusaknya dengan bisikan setan.
  4. Senjata Utama adalah Dzikir: Sifat setan sebagai "Al-Khannas" (yang mundur saat nama Allah disebut) mengajarkan kita bahwa senjata paling ampuh melawannya adalah dengan senantiasa mengingat Allah (dzikrullah). Ketika hati basah dengan dzikir, tidak ada ruang bagi setan untuk berbisik.
  5. Ketenangan Hakiki Hanya Bersama Allah: Dengan berlindung kepada Rabb, Malik, dan Ilah manusia, kita menambatkan hati kita pada sumber kekuatan dan ketenangan yang absolut. Ini adalah penawar dari segala bentuk kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan yang sering kali berasal dari bisikan-bisikan negatif.
🏠 Homepage