Surat An-Nasr, surat ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an, merupakan salah satu surat terpendek namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Terdiri dari tiga ayat, surat ini membawa kabar gembira tentang kemenangan besar dan pertolongan Allah SWT. Namanya sendiri, "An-Nasr", berarti "Pertolongan" atau "Kemenangan", yang secara langsung merujuk pada inti pesannya. Namun, di balik kabar gembira tersebut, tersimpan sebuah isyarat halus yang dipahami oleh para sahabat utama sebagai pertanda akan berakhirnya sebuah era yang agung. Pertanyaan fundamental yang sering muncul adalah, surat an nasr diturunkan di mana dan kapan? Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah sekadar informasi geografis, melainkan sebuah kunci untuk membuka pemahaman yang lebih komprehensif tentang konteks sejarah, sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul), dan hikmah agung yang terkandung di dalamnya.
Memahami lokasi dan waktu turunnya sebuah surat Al-Qur'an adalah pilar penting dalam ilmu tafsir. Hal ini membantu kita menempatkan wahyu ilahi dalam bingkai peristiwa yang melingkupinya, sehingga pesan yang disampaikan menjadi lebih hidup dan relevan. Untuk Surat An-Nasr, konteksnya sangatlah krusial. Surat ini tidak turun di masa-masa awal perjuangan dakwah di Makkah yang penuh dengan penindasan, juga tidak turun di tengah panasnya pertempuran fisik. Surat ini turun pada sebuah momen puncak, sebuah klimaks dari perjuangan panjang Rasulullah SAW dan para sahabat selama lebih dari dua dekade. Oleh karena itu, menyelami di mana dan kapan surat ini diwahyukan akan membawa kita pada perjalanan menelusuri episode-episode terakhir dari kehidupan Sang Nabi dan menyaksikan buah dari kesabaran dan pengorbanan yang tak terhingga.
Simbol kemenangan (Al-Fath) dan pertolongan (An-Nasr) dari Allah SWT.
Klasifikasi Surat: Makkiyah atau Madaniyyah?
Sebelum menjawab secara spesifik "di mana", penting untuk memahami klasifikasi dasar surat-surat Al-Qur'an, yaitu Makkiyah dan Madaniyyah. Klasifikasi ini bukan sekadar label, melainkan sebuah kerangka analisis yang kaya informasi. Para ulama tafsir memiliki dua pendekatan utama dalam mendefinisikan keduanya:
1. Pendekatan Berbasis Lokasi (Geografis)
Definisi yang paling sederhana dan umum dipahami adalah berdasarkan tempat turunnya wahyu.
- Surat Makkiyah: Adalah surat atau ayat yang diturunkan di kota Makkah dan sekitarnya (seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah).
- Surat Madaniyyah: Adalah surat atau ayat yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya (seperti Uhud, Quba', dan Sila').
2. Pendekatan Berbasis Waktu (Kronologis)
Ini adalah definisi yang dianggap paling akurat dan komprehensif oleh mayoritas ulama. Definisi ini menggunakan peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah sebagai titik pemisah.
- Surat Makkiyah: Adalah setiap surat atau ayat yang diturunkan sebelum peristiwa Hijrah, meskipun lokasinya bukan di Makkah.
- Surat Madaniyyah: Adalah setiap surat atau ayat yang diturunkan setelah peristiwa Hijrah, meskipun lokasinya di Makkah atau sekitarnya.
Penempatan Surat An-Nasr dalam Klasifikasi
Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, para ulama secara ijma' (konsensus) mengklasifikasikan Surat An-Nasr sebagai surat Madaniyyah. Meskipun terdapat riwayat yang menyatakan surat ini turun di Mina (dekat Makkah), peristiwa tersebut terjadi selama Haji Wada'. Haji Wada' dilaksanakan pada fase akhir kehidupan Nabi, jauh setelah beliau hijrah dan menjadikan Madinah sebagai pusat negara Islam. Dengan demikian, menurut definisi kronologis yang lebih kuat, surat ini tidak diragukan lagi adalah surat Madaniyyah. Ini adalah poin krusial: surat ini adalah bagian dari periode Madinah, periode di mana Islam telah menjadi kekuatan politik dan sosial yang mapan, bukan lagi komunitas kecil yang tertindas.
Waktu Spesifik Penurunan: Sebuah Tanda Agung
Mengetahui bahwa Surat An-Nasr adalah Madaniyyah barulah langkah awal. Para mufassir (ahli tafsir) telah menggali lebih dalam untuk menentukan momen yang lebih spesifik mengenai turunnya wahyu ini. Terdapat beberapa riwayat, namun semuanya mengerucut pada satu periode waktu yang sama: periode kemenangan mutlak Islam di Jazirah Arab.
Pendapat yang paling kuat dan masyhur, yang didukung oleh banyak riwayat, menyatakan bahwa Surat An-Nasr diturunkan pada hari-hari Tasyriq saat pelaksanaan Haji Wada' (Haji Perpisahan) di Mina. Ini adalah haji pertama dan terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bayangkan suasananya: ratusan ribu Muslim dari berbagai penjuru Jazirah Arab berkumpul bersama Rasulullah SAW. Ini adalah pemandangan yang beberapa tahun sebelumnya tak terbayangkan. Dulu, Nabi SAW berdakwah secara sembunyi-sembunyi; kini, beliau memimpin lautan manusia yang dengan bangga mengumandangkan talbiyah.
Dalam konteks inilah Surat An-Nasr turun. Bukan sebagai janji kemenangan yang akan datang, tetapi sebagai konfirmasi atas kemenangan yang telah nyata di depan mata. Kemenangan ("An-Nasr") dan penaklukan ("Al-Fath") yang dimaksud telah terjadi. Orang-orang telah berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah, dan kini mereka berkumpul di padang Arafah dan Mina sebagai satu umat yang bersatu. Penurunan surat ini di tengah-tengah peristiwa monumental tersebut menjadikannya sebuah proklamasi ilahi atas kesempurnaan risalah dan tuntasnya sebuah misi besar.
Beberapa riwayat lain menyebutkan surat ini turun sebelum atau sesaat setelah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Meskipun riwayat Haji Wada' lebih kuat, riwayat ini juga memiliki relevansi yang sangat erat. Fathu Makkah adalah puncak dari "Al-Fath" (penaklukan) yang disebutkan dalam surat ini. Peristiwa ini adalah titik balik yang paling menentukan dalam sejarah penyebaran Islam. Sebelum Fathu Makkah, banyak suku Arab yang bersikap menunggu dan melihat. Mereka berpikir, "Jika Muhammad bisa mengalahkan kaumnya sendiri (Quraisy), maka dia benar-benar seorang nabi." Ketika Makkah, jantung spiritual dan pusat kekuatan kaum Quraisy, ditaklukkan hampir tanpa pertumpahan darah, keraguan itu sirna. Setelah itu, delegasi-delegasi dari berbagai suku (disebut `wufud`) berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara berbondong-bondong (`afwaja`).
Oleh karena itu, baik diturunkan saat Fathu Makkah maupun saat Haji Wada', keduanya berada dalam satu bingkai "Kemenangan Akhir". Fathu Makkah adalah gerbang kemenangannya, dan Haji Wada' adalah perayaan dan penegasan atas kemenangan tersebut. Surat An-Nasr menjadi semacam epilog atau bab penutup dari keseluruhan narasi perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Asbabun Nuzul: Di Balik Turunnya Wahyu Kemenangan
Sebab turunnya (Asbabun Nuzul) Surat An-Nasr tidak terikat pada satu insiden kecil, melainkan pada sebuah peristiwa kolosal yang menjadi kulminasi dari seluruh dakwah Islam. Konteks utamanya adalah Fathu Makkah dan konsekuensi luar biasa yang mengikutinya. Ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi kemenangan moral, spiritual, dan ideologis.
Konteks Utama: Fathu Makkah, Kemenangan Tanpa Dendam
Peristiwa Fathu Makkah adalah manifestasi sempurna dari "nasrullah" (pertolongan Allah) dan "al-fath" (penaklukan). Peristiwa ini dipicu oleh pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah oleh kaum kafir Quraisy dan sekutu mereka. Sebagai respons, Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan besar yang bergerak menuju Makkah. Namun, tujuan utamanya bukanlah pertumpahan darah, melainkan membebaskan kota suci tersebut dan Ka'bah dari belenggu kemusyrikan.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah salah satu momen paling agung dalam sejarah. Rasulullah SAW memasuki kota kelahirannya, kota yang dulu mengusir dan menyiksanya, bukan sebagai penakluk yang angkuh, melainkan sebagai hamba Allah yang tawadhu'. Beliau menundukkan kepala di atas untanya sebagai tanda kerendahan hati. Beliau membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala sambil mengumandangkan ayat Al-Qur'an, "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap."
Kemudian, beliau mengumpulkan penduduk Makkah yang ketakutan, orang-orang yang selama bertahun-tahun memusuhi beliau. Mereka menanti hukuman. Namun, yang mereka terima adalah kemurahan hati yang tak terduga. Rasulullah SAW bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Yang baik, wahai saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia." Maka, Rasulullah SAW mengucapkan kalimatnya yang bersejarah, "Pergilah, kalian semua bebas."
Kemenangan tanpa dendam inilah "Al-Fath" yang sesungguhnya. Bukan sekadar penaklukan teritori, tetapi penaklukan hati. Akibatnya, seperti yang digambarkan ayat kedua, manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah. Kabilah-kabilah yang tadinya ragu, kini yakin akan kebenaran risalah Muhammad SAW. Mereka melihat kekuatan yang disertai dengan rahmat, kekuasaan yang diiringi dengan pengampunan. Inilah konteks di mana Surat An-Nasr menjadi sebuah kenyataan yang bisa disaksikan dengan mata kepala.
Konteks Kedua: Isyarat Dekatnya Ajal Rasulullah SAW
Di balik makna lahiriahnya yang berisi kabar gembira, Surat An-Nasr menyimpan makna batiniah yang lebih dalam, yang menjadi Asbabun Nuzul kedua dan yang paling menyentuh. Surat ini adalah sebuah na'yu atau pemberitahuan halus dari Allah SWT bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah paripurna, dan waktu bagi beliau untuk kembali ke haribaan-Nya telah dekat.
Logikanya sederhana dan sangat kuat: jika pertolongan Allah telah datang, kemenangan telah diraih, dan manusia telah berbondong-bondong memeluk Islam, maka misi seorang rasul telah selesai. Tidak ada lagi tugas besar yang menanti. Yang tersisa adalah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Sang Pengutus.
Pemahaman mendalam ini terungkap dalam sebuah riwayat terkenal yang melibatkan Sayyidina Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas. Suatu ketika, Umar mengundang Ibnu Abbas, yang saat itu masih sangat muda, untuk bergabung dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Beberapa dari mereka merasa sedikit janggal dengan kehadiran pemuda tersebut. Untuk menunjukkan keilmuan Ibnu Abbas, Umar bertanya kepada majelis, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah (Surat An-Nasr)?"
Sebagian dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya ketika Dia menolong kita dan memberi kita kemenangan." Sebagian yang lain diam tidak berkomentar. Kemudian, Umar berpaling kepada Ibnu Abbas dan bertanya, "Apakah demikian juga pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?"
Ibnu Abbas menjawab, "Bukan." Lalu ia menjelaskan, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Firman-Nya, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' itu adalah tanda bagi ajalmu (wahai Muhammad). Maka, 'bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.'"
Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surat ini kecuali apa yang engkau ketahui."
Riwayat ini menunjukkan bahwa para sahabat yang paling cerdas dan dekat dengan Rasulullah SAW memahami isyarat ini. Diriwayatkan pula bahwa ketika surat ini turun, Sayyidatina Fatimah Az-Zahra menangis karena ia memahami bahwa itu adalah pertanda perpisahannya dengan ayahanda tercinta. Surat kemenangan bagi umat ternyata adalah surat perpisahan dari nabi mereka. Inilah dualitas makna yang menjadikan Surat An-Nasr begitu istimewa.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat
Untuk mengapresiasi sepenuhnya keagungan surat ini, mari kita selami makna setiap ayatnya secara lebih terperinci.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.
Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)
إِذَا (Iżā): Kata "apabila" di sini bukanlah pengandaian yang belum pasti. Dalam tata bahasa Arab, `Iżā` digunakan untuk kondisi di masa depan yang kejadiannya dianggap pasti. Ini adalah sebuah janji ilahi yang mutlak akan terwujud. Penggunaannya memberikan keyakinan dan optimisme yang kuat kepada kaum Muslimin pada saat itu.
جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ (jā'a nasrullāhi): "Telah datang pertolongan Allah". Frasa ini sangat penting. Kemenangan yang diraih bukan disandarkan pada kekuatan militer, kejeniusan strategi, atau jumlah pasukan. Ia disandarkan secara langsung dan mutlak kepada Allah. Ini adalah pelajaran tauhid yang fundamental: segala daya dan upaya manusia hanyalah sarana, sedangkan hasil akhir dan kemenangan sejati datangnya hanya dari Allah. Kata "An-Nasr" bermakna pertolongan yang membawa kepada kemenangan atas musuh. Ini adalah pertolongan yang definitif dan menentukan.
وَالْفَتْحُ (wal-fatḥ): "Dan kemenangan/penaklukan". Kata "Al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Mayoritas mufassir sepakat bahwa yang dimaksud secara spesifik adalah Fathu Makkah, yaitu "terbukanya" kota Makkah bagi kaum Muslimin. Namun, kata ini juga memiliki makna yang lebih luas. Ia bisa berarti terbukanya hati manusia untuk menerima kebenaran, terbukanya jalan-jalan dakwah yang sebelumnya tertutup, dan terbukanya berbagai negeri untuk cahaya Islam. Fathu Makkah adalah simbol puncak dari segala "pembukaan" ini. Ia adalah kemenangan yang tidak hanya menaklukkan sebuah kota, tetapi juga menghancurkan benteng kesombongan dan kemusyrikan kaum Quraisy, yang menjadi penghalang utama dakwah di Jazirah Arab.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)
وَرَأَيْتَ (wa ra'aita): "Dan engkau melihat". Sapaan ini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah pengakuan dari Allah atas hasil dari kerja keras, kesabaran, dan pengorbanan beliau. Allah seakan berfirman, "Lihatlah, wahai Muhammad, buah dari perjuanganmu." Ini adalah pemandangan yang sangat kontras dengan masa-masa awal dakwah, di mana satu per satu orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan penuh risiko. Kini, beliau menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pemandangan yang dijanjikan.
النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (an-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi): "Manusia masuk agama Allah". Frasa "masuk ke dalam" (`yadkhulūna fī`) memberikan kesan penerimaan yang total dan sukarela. Mereka tidak dipaksa, melainkan memilih untuk masuk ke dalam naungan Islam. Kata "An-Nās" (manusia) juga bersifat umum, mengisyaratkan bahwa Islam bukan hanya untuk satu suku atau bangsa, melainkan untuk seluruh umat manusia.
أَفْوَاجًا (afwājā): "Secara berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Inilah kata kunci dari ayat ini. Ia melukiskan sebuah perubahan skala yang dramatis. Jika dulu dakwah menyasar individu, kini dampaknya dirasakan pada level komunal. Seluruh suku dan kabilah datang dari jauh untuk menyatakan keislaman mereka di hadapan Rasulullah. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai 'Amul Wufud atau Tahun Delegasi, yang terjadi setelah Fathu Makkah. Ini adalah bukti empiris yang tak terbantahkan atas kebenaran risalah Islam.
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat)
فَ (Fa): Kata penghubung "maka" ini menunjukkan hubungan sebab-akibat. *Karena* pertolongan dan kemenangan telah datang, dan *karena* manusia telah memeluk Islam secara massal, *maka* inilah respons yang seharusnya diberikan. Respons seorang hamba di puncak kesuksesan bukanlah euforia, pesta, atau kesombongan, melainkan kembali kepada Allah dengan kerendahan hati.
سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (sabbiḥ biḥamdi rabbika): "Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini menggabungkan dua bentuk zikir yang agung:
- Tasbih (سَبِّحْ): Mensucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, atau sekutu. Ini adalah pengakuan bahwa kemenangan ini murni karena keagungan Allah, bukan karena andil manusia. Ini membersihkan hati dari potensi kesombongan yang bisa muncul saat meraih kemenangan.
- Tahmid (بِحَمْدِ): Memuji Allah atas segala nikmat, karunia, dan kesempurnaan-Nya. Ini adalah ekspresi syukur yang mendalam atas pertolongan dan kemenangan yang telah dilimpahkan.
وَاسْتَغْفِرْهُ (wastagfirh): "Dan mohonlah ampunan kepada-Nya". Perintah ini mungkin terasa janggal bagi sebagian orang. Mengapa di saat kemenangan terbesar, Rasulullah SAW—sosok yang ma'shum (terjaga dari dosa besar)—diperintahkan untuk beristighfar? Di sinilah letak kedalaman maknanya:
- Sebagai Tanda Ubudiyyah (Penghambaan): Istighfar adalah bentuk penghambaan yang tertinggi. Ia adalah pengakuan bahwa seorang hamba, setinggi apapun kedudukannya, akan selalu memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam menunaikan hak Tuhannya. Bahkan dalam ibadah dan perjuangan terbaik pun, pasti ada hal yang tidak sempurna. Istighfar menyempurnakan segala kekurangan itu.
- Sebagai Tauladan bagi Umatnya: Jika Rasulullah SAW di puncak kejayaannya diperintahkan beristighfar, maka bagaimana dengan kita yang penuh dengan dosa dan kelalaian? Ini adalah pelajaran abadi bagi umatnya untuk tidak pernah merasa puas dengan amal dan selalu memohon ampunan Allah dalam setiap keadaan, baik suka maupun duka.
- Sebagai Persiapan Akhir: Seperti yang dipahami oleh Ibnu Abbas, perintah ini adalah sinyal bahwa tugas telah usai. Istighfar menjadi penutup amal, pembersih akhir sebelum seorang hamba kembali menghadap Penciptanya. Ini seperti membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik sebelum bertemu dengan Raja segala raja.
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (innahụ kāna tawwābā): "Sungguh, Dia Maha Penerima taubat". Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang membawa ketenangan dan harapan. Nama Allah "At-Tawwab" berasal dari akar kata yang sama dengan "taubat". "Tawwab" adalah bentuk superlatif yang berarti Dia tidak hanya menerima taubat, tetapi senantiasa, berulang kali, dan dengan penuh penerimaan menyambut hamba-Nya yang kembali. Ini adalah jaminan bahwa sebanyak apapun kekurangan kita, pintu ampunan Allah selalu terbuka lebar. Kalimat ini menjadi penutup yang sempurna, meyakinkan Nabi dan umatnya bahwa permohonan ampun mereka pasti akan disambut oleh Rabb Yang Maha Pengasih.
Hikmah dan Pelajaran Abadi dari Surat An-Nasr
Meskipun Surat An-Nasr diturunkan dalam konteks sejarah yang spesifik, pesannya bersifat universal dan abadi. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip fundamental bagi kehidupan seorang Muslim, baik secara individu maupun kolektif.
- Hakikat Kemenangan: Surat ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati (baik dalam urusan duniawi maupun spiritual) hanya datang dari pertolongan Allah. Kesuksesan bukanlah hasil dari kehebatan manusia semata. Kesadaran ini menumbuhkan rasa tawakal sebelum berjuang dan rasa syukur serta tawadhu' setelah meraih hasil.
- Respon yang Tepat Terhadap Nikmat: Di puncak kesuksesan, godaan terbesar adalah kesombongan dan merasa berhak atas pencapaian tersebut. Al-Qur'an memberikan formula yang pasti: kesuksesan harus dijawab dengan peningkatan tasbih (mensucikan Allah), tahmid (memuji-Nya), dan istighfar (memohon ampunan-Nya). Ini adalah cara untuk "mengikat" nikmat agar tidak hilang dan menjadikannya berkah.
- Pentingnya Orientasi Akhirat: Surat ini secara halus mengingatkan bahwa setiap misi di dunia ini memiliki akhir. Setiap pencapaian duniawi, sebesar apapun itu, hanyalah sebuah fase menuju pertemuan dengan Allah. Oleh karena itu, tujuan akhir dari setiap aktivitas kita seharusnya adalah mempersiapkan diri untuk kepulangan tersebut.
- Optimisme dalam Dakwah: Bagi para pejuang dakwah di setiap zaman, Surat An-Nasr adalah suntikan optimisme. Ia adalah janji bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan, dan setelah perjuangan akan ada kemenangan, di mana manusia akan menerima kebenaran secara berbondong-bondong. Syaratnya adalah ikhlas dan senantiasa memohon pertolongan Allah.
- Kepemimpinan Profetik: Respons Nabi terhadap kemenangan—dengan memaafkan musuh, menunjukkan kerendahan hati, dan memperbanyak zikir serta istighfar—adalah model kepemimpinan yang ideal. Kekuasaan tidak membuatnya lalai, justru semakin mendekatkannya kepada Allah.
- Rahmat Allah yang Tak Terbatas: Penutup surat dengan nama Allah "At-Tawwab" adalah pesan harapan yang universal. Tidak peduli seberapa jauh seseorang telah tersesat atau seberapa banyak kesalahan yang telah dibuat, pintu taubat selalu terbuka. Allah selalu siap menerima hamba-Nya yang kembali.
Kesimpulan
Jadi, untuk menjawab pertanyaan inti, Surat An-Nasr diturunkan di Madinah, atau lebih tepatnya, diklasifikasikan sebagai surat Madaniyyah karena turun setelah peristiwa Hijrah. Lokasi spesifik yang paling kuat menurut riwayat adalah di Mina, saat berlangsungnya Haji Wada'. Penurunannya menandai puncak kemenangan dakwah Islam yang direpresentasikan oleh Fathu Makkah dan masuknya manusia ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong.
Namun, lebih dari sekadar informasi lokasi dan waktu, Surat An-Nasr adalah sebuah lautan makna. Ia adalah surat kemenangan sekaligus surat perpisahan. Ia adalah proklamasi keberhasilan sebuah misi ilahi, sekaligus pengingat akan kefanaan hidup di dunia. Ia mengajarkan kita bagaimana meraih kemenangan dengan pertolongan Allah, dan yang lebih penting lagi, bagaimana bersikap ketika kemenangan itu telah berada di genggaman: dengan kembali kepada-Nya dalam tasbih, tahmid, dan istighfar, karena sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.