Dalam dunia pendidikan, evaluasi tidak hanya berfokus pada aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan). Aspek afektif, yang mencakup sikap, minat, motivasi, dan nilai-nilai, memegang peranan krusial dalam membentuk karakter dan kesiapan peserta didik menghadapi tantangan kehidupan. Penilaian afektif bertujuan untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai yang diharapkan telah terinternalisasi oleh siswa. Namun, menilai aspek yang abstrak ini memerlukan rancangan yang sistematis dan objektif sebisa mungkin.
Merancang penilaian afektif yang valid dan reliabel merupakan tantangan tersendiri. Ini memerlukan instrumen yang mampu menangkap perilaku nyata atau respon yang tulus. Rancangan yang baik harus mengintegrasikan observasi berkelanjutan, refleksi diri, dan rubrik penilaian yang jelas, alih-alih hanya mengandalkan kuesioner sekali jalan.
Sebuah rancangan penilaian afektif yang efektif harus mencakup beberapa komponen esensial:
Berikut adalah contoh penerapan rancangan penilaian untuk aspek afektif Kerjasama Tim pada sebuah proyek kelompok di mata pelajaran Sains:
| Aspek yang Dinilai | Indikator Perilaku Teramati | Skala Penilaian (1-4) |
|---|---|---|
| Partisipasi Aktif | Secara konsisten memberikan ide dan saran yang relevan dalam diskusi kelompok. | 1=Jarang, 2=Kadang-kadang, 3=Sering, 4=Selalu |
| Saling Menghargai Pendapat | Mendengarkan pendapat anggota lain tanpa memotong pembicaraan dan memberikan tanggapan positif. | 1=Tidak pernah, 2=Kadang menanggapi, 3=Menghargai dan merespon, 4=Mendorong masukan orang lain |
| Pembagian Tugas | Menerima dan menyelesaikan tugas sesuai pembagian tanpa perlu diingatkan berulang kali. | 1=Menghindari tugas, 2=Mengerjakan jika diminta, 3=Menyelesaikan sebagian besar tugas, 4=Menyelesaikan tugas tepat waktu dan membantu yang lain |
Penilaian ini akan dilakukan menggunakan Jurnal Observasi Harian oleh guru dan Penilaian Diri (Self-Assessment) oleh siswa pada akhir proyek. Data observasi guru akan menjadi bobot 70%, sementara penilaian diri menjadi 30% untuk melihat kesadaran siswa terhadap kontribusinya sendiri.
Meskipun penting, pengukuran afektif menghadapi bias subyektivitas yang tinggi. Guru harus memastikan bahwa mereka menilai perilaku yang diamati, bukan asumsi pribadi mereka terhadap karakter siswa. Selain itu, siswa mungkin cenderung menampilkan perilaku yang "diinginkan" (social desirability bias) jika mereka tahu mereka sedang dinilai secara ketat. Oleh karena itu, integrasi teknik seperti unobtrusive measures (pengukuran yang tidak kentara) atau data kualitatif yang kaya dari catatan anekdotal sangat dianjurkan dalam rancangan penilaian afektif yang komprehensif.