Membedah Makna Ridho dalam Islam: Puncak Ketenangan Jiwa
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, jiwa manusia seringkali terombang-ambing oleh gelombang kekhawatiran, kecemasan, dan ketidakpuasan. Kita merencanakan, kita berusaha, namun hasil yang didapat tak selalu sejalan dengan harapan. Di sinilah seringkali muncul rasa kecewa, marah, bahkan putus asa. Islam, sebagai panduan hidup yang komprehensif, menawarkan sebuah konsep agung yang menjadi kunci untuk membuka gerbang ketenangan sejati: Ridho. Namun, apa sebenarnya ridho artinya dalam Islam? Apakah ia sekadar pasrah buta tanpa usaha, atau sebuah tingkatan spiritual yang lebih dalam dan transformatif?
Memahami ridho adalah sebuah perjalanan untuk menyelami samudra kearifan ilahi. Ia bukan tentang menyerah pada keadaan, melainkan tentang menyerahkan hati kepada Sang Pengatur Keadaan. Ia adalah seni menari di tengah badai kehidupan dengan hati yang damai, meyakini bahwa setiap skenario yang ditulis oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang terbaik, meskipun akal kita yang terbatas belum mampu memahaminya. Artikel ini akan mengupas tuntas konsep ridho, dari makna dasarnya, kedudukannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, tingkatan-tingkatannya, hingga langkah-langkah praktis untuk menumbuhkannya dalam sanubari.
Definisi Mendasar: Membedakan Ridho, Sabar, dan Syukur
Untuk memahami esensi ridho, penting untuk terlebih dahulu mengerti maknanya secara bahasa dan istilah, serta membedakannya dari konsep lain yang seringkali bersinggungan, yaitu sabar (kesabaran) dan syukur (rasa terima kasih).
Makna Etimologis dan Terminologis
Secara etimologi (bahasa), kata ridho (رضا) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata ra-dha-wa yang berarti rela, senang, puas, dan menerima dengan lapang dada. Kata ini mengandung konotasi penerimaan yang positif, bukan penerimaan yang terpaksa. Ia adalah kondisi di mana hati merasa cukup dan tidak menuntut lebih dari apa yang telah ditetapkan.
Secara terminologi (istilah syar'i), para ulama mendefinisikan ridho sebagai kelapangan dada dan kegembiraan hati seorang hamba dalam menerima setiap ketetapan (qadha') dan takdir (qadar) Allah, tanpa ada rasa benci, keluh kesah, atau penolakan di dalam hatinya. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya "Madarij as-Salikin" menjelaskan bahwa ridho adalah gerbang Allah yang paling agung, surga dunia, dan tempat istirahatnya para ahli ibadah. Ia adalah kondisi di mana hati seorang hamba telah mencapai level kepasrahan total, meyakini sepenuhnya bahwa apa pun yang datang dari Allah, baik berupa nikmat maupun musibah, adalah wujud dari kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang-Nya.
Perbedaan Fundamental: Ridho, Sabar, dan Syukur
Banyak orang menyamakan ridho dengan sabar, padahal keduanya berada pada tingkatan yang berbeda, meskipun saling berkaitan. Mari kita urai perbedaannya:
- Sabar (Kesabaran): Sabar adalah kemampuan untuk menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari mengadu kepada selain Allah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang menunjukkan kemarahan (seperti memukul diri sendiri atau merobek pakaian). Sabar terjadi ketika musibah menimpa. Di dalam sabar, mungkin masih ada rasa sakit, kepedihan, dan perjuangan batin untuk tidak memberontak. Sabar adalah menelan pil pahit tanpa mengeluh.
- Syukur (Rasa Terima Kasih): Syukur adalah sikap mengakui nikmat yang diterima, menunjukkannya dengan lisan (mengucap Alhamdulillah), dan menggunakannya dalam ketaatan kepada Sang Pemberi Nikmat. Syukur umumnya terkait dengan penerimaan hal-hal yang menyenangkan dan menguntungkan.
- Ridho (Kerelaan): Ridho adalah tingkatan yang lebih tinggi dari sabar. Jika sabar adalah menahan rasa sakit, ridho adalah kondisi di mana hati tidak lagi merasakan sakit atas takdir tersebut. Hati telah mencapai titik di mana ia melihat musibah dan nikmat dengan kacamata yang sama: sebagai bentuk kasih sayang dan pilihan terbaik dari Allah. Seseorang yang ridho tidak hanya menahan diri dari mengeluh, tetapi hatinya benar-benar lapang dan damai. Ia melihat keindahan di balik setiap ketetapan. Ia seolah-olah "menikmati" pil pahit itu karena ia tahu obat itu datang dari Sang Kekasih, Allah SWT.
Seorang ulama memberikan perumpamaan indah: Orang yang sabar adalah seperti orang yang dipaksa minum obat pahit, ia meminumnya sambil menahan rasa tidak enak demi kesembuhan. Sementara orang yang ridho adalah seperti orang yang minum obat pahit itu dengan senyuman, karena ia tahu obat itu diracik oleh dokter yang paling ia cintai dan percayai, yang tidak akan pernah memberinya sesuatu yang membahayakan.
Kedudukan Agung Ridho dalam Al-Qur'an dan Sunnah
Konsep ridho bukanlah sekadar nasihat motivasi, melainkan sebuah pilar spiritual yang berakar kuat dalam sumber utama ajaran Islam. Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam berulang kali menempatkan ridho pada posisi yang sangat mulia.
Dalil-dalil dari Al-Qur'an
Al-Qur'an mengaitkan ridho dengan ganjaran tertinggi, yaitu surga dan keridhoan Allah itu sendiri, yang merupakan puncak dari segala kenikmatan.
“Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya. Dan disediakan-nya bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Ayat ini menunjukkan sebuah hubungan timbal balik yang indah. Ketika seorang hamba berhasil mencapai maqam (kedudukan) ridho kepada Allah di dunia, maka balasan setimpal yang ia dapatkan di akhirat adalah ridho dari Allah. Keridhoan Allah adalah nikmat yang bahkan lebih besar dari surga itu sendiri.
Dalam surat lain, Allah berfirman kepada jiwa yang tenang (an-nafs al-muthmainnah):
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Ayat ini secara eksplisit menghubungkan ketenangan jiwa (muthmainnah) dengan sifat ridho. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang ridho terhadap takdir Tuhannya, dan sebagai hasilnya, ia pun diridhai oleh-Nya. Ini adalah panggilan mulia di akhir hayat bagi mereka yang telah menjadikan ridho sebagai pakaian sehari-hari dalam hidupnya.
Petunjuk dari Hadits Nabi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai teladan utama, seringkali mengajarkan pentingnya ridho melalui sabda dan doanya. Salah satu hadits yang paling terkenal menegaskan bahwa ridho adalah syarat untuk merasakan manisnya iman.
“Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridho kepada Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul-nya.” (HR. Muslim)
Hadits ini bukan sekadar pernyataan. Ia adalah sebuah formula. Kelezatan iman, sebuah rasa manis dan damai yang tidak bisa dibeli dengan materi, hanya bisa dicicipi oleh mereka yang hatinya telah sepenuhnya ridho. Ridho kepada Allah sebagai Rabb berarti menerima segala aturan-Nya, takdir-Nya, dan pengaturan-Nya. Ridho kepada Islam sebagai agama berarti menerima seluruh syariatnya tanpa keraguan. Dan ridho kepada Muhammad sebagai Rasul berarti menerima semua ajaran dan sunnahnya.
Dalam doa pagi dan petang yang diajarkan beliau, terdapat pula pengakuan ridho ini:
“Radhitu billahi Rabba, wa bil-Islami dina, wa bi Muhammadin nabiyya.” (Aku ridho Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku). (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Mengucapkan doa ini setiap hari bukan sekadar rutinitas lisan, melainkan sebuah afirmasi dan peneguhan kembali komitmen hati untuk senantiasa berada dalam bingkai keridhoan.
Nabi juga bersabda tentang keajaiban kondisi seorang mukmin:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali bagi seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Sikap ini adalah manifestasi dari ridho. Seorang mukmin yang ridho mampu melihat kebaikan di setiap situasi, karena ia tahu semua berasal dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana. Baginya, tidak ada istilah "nasib buruk," yang ada hanyalah ujian kesabaran atau ladang untuk bersyukur.
Tingkatan dan Ruang Lingkup Ridho
Ridho bukanlah konsep yang monolitik atau tunggal. Ia memiliki tingkatan dan berlaku dalam berbagai aspek kehidupan seorang muslim. Memahaminya secara terperinci akan membantu kita untuk mengaplikasikannya dengan lebih baik.
Dua Arah Ridho: Hamba kepada Allah dan Allah kepada Hamba
Secara garis besar, ridho berjalan dua arah:
- Ridho Hamba kepada Allah: Ini adalah usaha dan perjuangan spiritual yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Inilah fokus utama dari pembahasan kita. Ridho ini mencakup penerimaan terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah.
- Ridho Allah kepada Hamba: Ini adalah anugerah dan balasan tertinggi dari Allah bagi hamba-Nya yang taat dan telah berhasil mencapai tingkat ridho kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah: 100, ridho Allah adalah puncak kebahagiaan dan kemenangan sejati.
Tujuan dari yang pertama adalah untuk mencapai yang kedua. Dengan berjuang untuk ridho kepada Allah di setiap hembusan napas, kita berharap akan dianugerahi ridho-Nya di akhirat kelak.
Ruang Lingkup Ridho Seorang Hamba
Ridho seorang hamba kepada Allah terbagi menjadi dua ranah utama yang saling melengkapi:
1. Ridho terhadap Perintah dan Larangan-Nya (At-Tasyri')
Ini adalah ridho terhadap syariat Islam. Seorang muslim yang ridho akan menerima seluruh hukum dan aturan yang telah Allah tetapkan dengan hati yang lapang. Ia tidak akan merasa berat dalam menjalankan perintah-perintah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Ia juga tidak akan memberontak atau mencari-cari pembenaran untuk melanggar larangan-larangan-Nya, seperti larangan riba, zina, ghibah, dan lain-lain.
Ia meyakini bahwa setiap perintah mengandung kebaikan mutlak dan setiap larangan bertujuan untuk melindunginya dari keburukan, baik yang ia pahami hikmahnya maupun tidak. Sifat ridho ini melahirkan ketaatan yang tulus, bukan ketaatan yang terpaksa atau penuh keluhan. Ia shalat bukan karena beban, tetapi karena cinta dan kebutuhan. Ia menjauhi yang haram bukan karena takut hukuman semata, tetapi karena tidak ingin mengecewakan Zat yang paling ia cintai.
2. Ridho terhadap Ketetapan Takdir-Nya (At-Takwini)
Inilah aspek ridho yang seringkali menjadi ujian terberat bagi keimanan. Ridho terhadap takdir (qadha' dan qadar) berarti menerima dengan hati yang damai segala peristiwa yang terjadi dalam hidup, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Ini mencakup:
- Takdir yang menyenangkan: Seperti kesehatan, kekayaan, keluarga yang harmonis, dan kesuksesan. Ridho dalam hal ini diwujudkan dengan rasa syukur, tidak sombong, dan menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah.
- Takdir yang menyakitkan: Seperti sakit, kemiskinan, kehilangan orang yang dicintai, kegagalan, atau fitnah. Inilah medan jihad (perjuangan) terbesar untuk meraih ridho. Ridho dalam kondisi ini berarti tidak menyalahkan takdir, tidak berandai-andai ("seandainya aku begini, pasti tidak akan begitu"), dan meyakini bahwa di balik musibah tersebut pasti ada hikmah, penghapusan dosa, atau pengangkatan derajat di sisi Allah.
Penting untuk dicatat, ridho terhadap takdir yang buruk bukan berarti ridho terhadap perbuatan maksiat itu sendiri. Contohnya, jika seseorang dizalimi, ia ridho bahwa kejadian itu adalah takdir Allah yang menimpanya, namun ia tetap membenci perbuatan zalim itu sendiri dan boleh menuntut haknya melalui jalur yang dibenarkan syariat. Ridho adalah urusan hati terhadap ketetapan Allah, bukan pembenaran terhadap perbuatan dosa yang dilakukan makhluk.
Buah Manis dan Manfaat Agung dari Sifat Ridho
Menumbuhkan sifat ridho dalam jiwa bukanlah sebuah usaha yang sia-sia. Ia laksana menanam pohon yang akarnya menancap kuat ke dalam bumi keimanan, dan buahnya sangat manis serta menyejukkan. Manfaat dari ridho tidak hanya dirasakan di akhirat, tetapi juga secara langsung dalam kehidupan di dunia.
1. Ketenangan Jiwa yang Tak Tergoyahkan (Sakinah)
Ini adalah buah ridho yang paling pertama dan paling nyata dirasakan. Orang yang ridho akan terbebas dari penyakit-penyakit hati yang menyiksa seperti iri, dengki, cemas berlebihan, stres, dan depresi. Mengapa? Karena sumber utama dari penyakit ini adalah penolakan terhadap takdir. Orang yang iri adalah orang yang tidak ridho dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Orang yang cemas adalah orang yang tidak ridho dan tidak percaya penuh pada pengaturan Allah di masa depan. Orang yang ridho hatinya akan lapang. Ia damai dengan masa lalunya, bersyukur dengan hari ini, dan tawakkal penuh untuk hari esok. Jiwanya tenang laksana samudra yang dalam, meskipun di permukaannya terjadi riak dan gelombang ujian.
2. Merasakan Manisnya Iman (Halawatul Iman)
Seperti yang telah disebutkan dalam hadits, ridho adalah kunci untuk merasakan kelezatan iman. Iman tidak lagi menjadi sekadar konsep teoretis atau ritual formalitas. Iman menjadi sebuah pengalaman spiritual yang manis dan membahagiakan. Setiap ibadah terasa nikmat, setiap doa terasa dekat, dan setiap takdir terasa sebagai surat cinta dari Allah.
3. Mendatangkan Cinta dan Ridho Allah
Hubungan hamba dengan Tuhannya bersifat resiprokal. Ketika seorang hamba berusaha sekuat tenaga untuk ridho kepada-Nya, maka Allah akan membalasnya dengan cinta dan keridhoan-Nya. Dan adakah pencapaian yang lebih agung bagi seorang hamba selain dicintai dan diridhai oleh Penciptanya? Keridhoan Allah adalah kunci untuk membuka semua pintu kebaikan di dunia dan akhirat.
4. Menjadi Sumber Kekuatan dan Optimisme
Orang yang ridho tidak akan mudah patah semangat atau putus asa. Ketika ia gagal, ia tidak melihatnya sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai pelajaran dari Allah. Ketika ia diuji dengan kesulitan, ia tidak merasa lemah, melainkan melihatnya sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menaikkan level keimanannya. Ridho mengubah perspektif dari negatif menjadi positif, dari keluhan menjadi peluang. Ini memberinya kekuatan batin yang luar biasa untuk menghadapi segala tantangan hidup.
5. Membebaskan Diri dari Perbudakan Dunia
Banyak manusia yang diperbudak oleh keinginan duniawi: harta, tahta, dan pujian manusia. Mereka terus-menerus merasa kurang dan tidak pernah puas. Ridho memutus rantai perbudakan ini. Orang yang ridho merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Standar kebahagiaannya bukan lagi materi atau penilaian orang lain, melainkan kedekatannya dengan Allah. Hatinya menjadi merdeka dan kaya, meskipun mungkin secara materi ia tidak berlimpah.
6. Puncak Ganjaran: Surga Allah
Pada akhirnya, semua manfaat duniawi ini akan bermuara pada satu tujuan akhir: surga. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an, balasan bagi jiwa yang ridho dan diridhai adalah surga-Nya. Mereka akan hidup kekal di dalamnya dalam keadaan puas dan bahagia, menikmati jamuan langsung dari Rabb mereka.
Langkah-langkah Praktis untuk Meraih Ridho
Ridho bukanlah sesuatu yang datang secara instan. Ia adalah buah dari ilmu, iman, dan latihan spiritual yang terus-menerus. Ia adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat membantu kita menapaki jalan menuju ridho.
1. Memperkuat Fondasi Tauhid (Ma'rifatullah)
Akar dari ridho adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Semakin kita mengenal Allah, semakin mudah kita untuk ridho kepada-Nya. Pelajari dan renungkan Asma'ul Husna (Nama-nama Allah yang Indah). Yakinilah bahwa Allah adalah Al-Hakim (Maha Bijaksana), sehingga setiap ketetapan-Nya pasti mengandung hikmah. Yakinilah bahwa Dia adalah Al-'Alim (Maha Mengetahui), sehingga Dia tahu apa yang terbaik untuk kita lebih dari diri kita sendiri. Yakinilah bahwa Dia adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), sehingga tidak mungkin Dia menakdirkan sesuatu untuk kita kecuali karena cinta dan kasih sayang-Nya, meskipun terkadang datang dalam bentuk ujian.
2. Selalu Berbaik Sangka kepada Allah (Husnuzan)
Latihlah hati untuk selalu berprasangka baik kepada Allah dalam setiap keadaan. Ketika doa belum terkabul, katakan pada diri sendiri, "Mungkin Allah menundanya untuk waktu yang lebih baik, atau menggantinya dengan yang lebih baik, atau menghindarkanku dari musibah karena doa ini." Ketika musibah datang, katakan, "Pasti Allah ingin menghapus dosaku, mengangkat derajatku, atau mengajarkan aku sesuatu yang berharga melalui ini." Sikap husnuzan ini adalah tameng yang melindungi hati dari bisikan putus asa dan keluh kesah.
3. Memahami Hakikat Kehidupan Dunia
Sadari dan tanamkan dalam hati bahwa dunia ini bukanlah surga. Dunia adalah tempat ujian (darul ibtila'), bukan tempat istirahat dan bersenang-senang (darul jaza'). Jika kita memahami ini, kita tidak akan kaget atau terlalu kecewa ketika menghadapi kesulitan. Kita akan melihatnya sebagai bagian dari kurikulum kehidupan yang memang harus dijalani. Sebagaimana seorang siswa yang tidak mengeluh saat diberi soal ujian, karena ia tahu ujian adalah jalan untuk naik kelas.
4. Rutin Menghitung dan Mensyukuri Nikmat
Seringkali kita fokus pada satu masalah yang kita hadapi dan melupakan ribuan nikmat yang mengelilingi kita. Luangkan waktu setiap hari untuk merenungi nikmat Allah: nikmat napas, nikmat kesehatan, nikmat iman, nikmat keamanan, dan lain-lain. Semakin kita pandai bersyukur atas nikmat yang ada, semakin mudah hati kita untuk ridho terhadap ujian yang datang. Rasa syukur akan melapangkan dada dan membuat masalah terasa lebih kecil.
5. Membaca Kisah Para Nabi dan Orang Saleh
Al-Qur'an dan hadits penuh dengan kisah-kisah inspiratif tentang kesabaran dan keridhoan para nabi dan orang-orang saleh terdahulu. Baca dan renungkanlah kisah Nabi Ayyub 'alaihissalam yang diuji dengan penyakit dan kehilangan harta serta keluarga, namun tetap ridho. Pelajari kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang ridho saat diperintahkan menyembelih putranya. Meneladani mereka akan memberikan kita kekuatan dan perspektif bahwa ujian kita mungkin tidak seberapa dibandingkan ujian mereka.
6. Perbanyak Doa
Ridho adalah taufik dan anugerah dari Allah. Maka, jangan pernah lelah untuk memintanya dalam setiap doa. Mintalah dengan sungguh-sungguh agar Allah menganugerahkan kita hati yang ridho terhadap takdir-Nya. Salah satu doa yang diajarkan Nabi adalah:
“Allahumma inni as-aluka an-nafsa al-muthmainnah, allati tu’minu biliqa-ika, wa tardha bi qadha-ika, wa taqna’u bi ‘atha-ika.”
(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang tenang, yang beriman akan pertemuan dengan-Mu, yang ridho dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu).
Mengatasi Salah Paham Seputar Ridho
Ada beberapa kesalahpahaman umum tentang konsep ridho yang perlu diluruskan agar tidak menjerumuskan kita pada sikap yang salah.
Mitos: Ridho Berarti Pasif dan Tidak Berusaha (Ikhtiar)
Ini adalah kesalahpahaman yang paling fatal. Sebagian orang mengira bahwa jika kita harus ridho dengan takdir, maka kita tidak perlu lagi bekerja, belajar, atau berobat ketika sakit. Ini adalah pemahaman yang keliru yang disebut "Jabariyah."
Fakta: Ridho tidak menafikan ikhtiar (usaha). Islam memerintahkan kita untuk melakukan usaha maksimal dalam segala hal. Kita wajib bekerja untuk mencari nafkah, belajar untuk meraih ilmu, dan berobat untuk mencari kesembuhan. Ridho letaknya di hati, setelah kita melakukan ikhtiar terbaik. Kita berusaha sekuat tenaga, lalu hasilnya kita serahkan kepada Allah dan kita ridho dengan apa pun hasilnya. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertawakkal dan ridho, namun beliau memakai baju besi saat perang, menyusun strategi, dan berobat ketika sakit. Ikhtiar adalah bentuk ibadah dan adab kita kepada Allah, sementara ridho adalah adab hati kita dalam menerima hasil dari-Nya.
Mitos: Ridho Berarti Tidak Boleh Sedih
Ada anggapan bahwa orang yang ridho tidak boleh menunjukkan emosi kesedihan atau menangis saat ditimpa musibah.
Fakta: Ridho tidak berarti menekan emosi manusiawi. Sedih adalah perasaan yang alami. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menangis ketika putranya, Ibrahim, wafat. Beliau bersabda, "Sesungguhnya mata boleh menangis dan hati boleh bersedih, namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami." Yang dilarang adalah kesedihan yang berlarut-larut hingga membawa kepada penolakan takdir, meratap berlebihan (niyahah), dan mengucapkan kata-kata yang menunjukkan ketidakpuasan kepada Allah. Menangis karena kasih sayang itu fitrah, namun hati tetap harus kokoh dalam keridhoan.
Penutup: Ridho sebagai Surga Dunia
Ibnul Qayyim pernah berkata, "Sesungguhnya di dunia ini ada surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan memasuki surga di akhirat." Surga dunia yang beliau maksud adalah ketenangan jiwa, kelapangan dada, dan kebahagiaan yang lahir dari ma'rifatullah, cinta kepada-Nya, dan ridho terhadap segala ketetapan-Nya.
Memahami ridho artinya dalam Islam adalah memahami peta menuju surga dunia tersebut. Ia adalah perjalanan transformasi dari jiwa yang gelisah menjadi jiwa yang muthmainnah (tenang). Ia adalah kunci untuk melepaskan beban kekhawatiran dan menggantinya dengan sayap keyakinan yang membawa kita terbang tinggi melintasi badai kehidupan.
Jalan menuju ridho memang tidak selalu mudah. Ia membutuhkan perjuangan melawan ego, melawan bisikan syaitan, dan melawan logika duniawi yang sempit. Namun, setiap langkah yang kita ambil di jalan ini akan dibalas dengan kedamaian yang tak ternilai. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa membimbing kita, melapangkan dada kita, dan menganugerahkan kita nikmat tertinggi: menjadi hamba-Nya yang ridho dan diridhai.